Menghidupkan kembali Bahasa Ibu lewat Rencage

Dwi AstariniDwi Astarini - Kamis, 27 September 2018
Menghidupkan kembali Bahasa Ibu lewat Rencage

Ajip Rosidi mencurahkan perhatiannya untuk pelestarian bahasa ibu. (foto: MP/Iftinavia Pradinantia)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

"KITA harus berterima kasih kepada nenek moyang yang telah mewariskan kebudayaan luar biasa bagi bangsa Indonesia,” ucap sastrawan sastra Sunda, Ajip Rosidi, dengan nada suara bergetar. Fisiknya mungkin telah renta karena termakan usia, tetapi semangatnya untuk terus menggerakkan dunia kesusastraan khususnya sastra daerah tak lekang dimakan usia.

Keterbatasan fisik tak membatasinya untuk tetap lantang menceritakan kehebatan budaya Indonesia. Sembari duduk di atas sebuah kursi dengan tangan kiri memegang tongkat, di atas panggung Teater Ismail Marzuki, ia mengatakan kebudayaan Indonesia jauh lebih hebat daripada kebudayaan yang ditawarkan Belanda. Salah satu peninggalan sejarah yang menjadi bukti kemajuan bangsa Indonesia, yakni Borobudur, telah eksis sebelum Belanda tiba di Indonesia. “Setiap daerah punya peninggalan sejarah yang tak kalah hebat. Peninggalan nenek moyang yang paling istimewa adalah bahasa,” tuturnya.

Bahasa terawat dalam tubuh-lisan para penutur. Namun, bagaimana jika para penutur dari generasi ke generasi perlahan-lahan meninggalkan bahasa mereka?

“Ada prasangka dan stigma yang berkembang di masyarakat pada 1940-an bahwa bahasa daerah dianggap sebagai saingan bahasa nasional. Mereka tidak menganggap bahasa daerah sebagai kekayaan budaya warisan nenek moyang kita,” beber Ajip. Perkembangan bahasa nasional kala itu ternyata merugikan kehidupan bahasa-bahasa daerah.

Lain dulu lain sekarang. Jika dulu bahasa daerah dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan bahasa Indonesia, generasi muda memandang dengan cara berbeda. Kesan kampungan dan ketinggalan zaman membuat penutur asli yang hidup di generasi masa sekarang enggan menggunakan bahasa daerah. Mereka yang hidup di daerah pun lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa ibu.

Hal tersebut menginspirasi sastrawan Sunda tersebut untuk terus menghidupkan budaya dan bahasa daerah. Ajip berinisiatif untuk melestarikan budaya daerah dengan mendirikan Yayasan Rancage. Secara berkala sejak 1989, Yayasan Rancage memberi hadiah dan uang tunai bagi para pengembang bahasa daerah. Segala hal Ajip curahkan untuk Rancage. Ia pun mengelola dan mendanai sendiri yayasan tersebut. “Budaya Indonesia berakar dari budaya daerah. Sudah sepatutnya kita melestarikan semaksimal mungkin. Itulah mengapa saya terjun langsung menghidupkan Rancage,” ujarnya.

Pemenang Rancage Sastra Batak, Panusunan Simandjuntak (tengah), berfoto dengan peraih Rancage 2015, Saut Poltak Tambunan (kanan). (foto: MP/Iftinavia Pradinantia)

Mulanya Rancage hanya fokus pada pengembangan bahasa dan kebudayaan Sunda. Sambutan luar biasa dari penggerak sastra daerah di sejumlah wilayah di Indonesia membuat Rancage terbuka untuk pengembangan sastra bahasa lainnya. Pada 1994, Rancage memberikan hadiah untuk sastra Jawa. Empat tahun kemudian, hadiah juga diberikan kepada sastra Bali. Di 2008, sastra Lampung ikut diapresiasi. Sastra Batak bergabung pada 2015 dan yang terakhir ada sastra Banjar yang turut berkontribusi pada 2016. Pemberian hadiah tersebut rupanya memengaruhi sikap masyarakat terhadap bahasa dan sastra di daerah mereka sendiri. “Paling tidak, hadiah itu menjadi kebanggaan dan kebahagiaan mereka secara moral karena secara finansial tidak begitu membahagiakan,” imbuh Ajip.

Apresiasi yang lebih besar diberikan untuk penggiat kesustraan daerah yang produktif. Mereka yang secara aktif terus melahirkan karya mendapat hadiah lebih besar dari Rancage. “Hadiah untuk karya dapat diberikan berkali-kali kepada seseorang kalau dia menerbitkan karya unggulan bermutu,” jelas Ajip.

Perjuangan Ajip untuk terus melestarikan kebudayaan daerah kini membuahkan hasil. Dukungan mengalir dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga akademisi. Bekerja sama dengan Institut Kesenian Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta, Anugerah Sastera Rancage 2018 berlangsung dengan meriah di Taman Ismail Marzuki pada Rabu (26/9).

Malam itu tak hanya menjadi malam untuk mengapresiasi karya sastra daerah. Acara tersebut menjadi ajang para sastrawan untuk bercengkrama dan bertukar pikiran. Ucapan selamat dalam suasana kekeluargaan disampaikan para pemenang Rancage Sastra Batak sebelumnya untuk pemenang Rancage tahun ini. Mereka seolah bersatu demi keberlangsungan bahasa ibu mereka.

Dalam momen tersebut juga tertangkap bagaimana sastrawan Sunda dan sastrawan Batak larut dalam obrolan asyik. Meski berbahasa berbeda, keduanya bersatu di bawah payung Indonesia.(Avi)

Bagikan
Ditulis Oleh

Iftinavia Pradinantia

I am the master of my fate and the captain of my soul
Bagikan