MerahPutih.com - Pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024 dengan jenis sigaret kretek tangan (SKT) maksimal 5 persen.
Pemerintah juga melakukan penyesuaian terhadap batasan minimum harga jual eceran (HJE) dengan memperhatikan perkembangan harga pasar dan rata-rata kenaikan cukai rokok.
Selain itu, pemerintah sekaligus menaikkan tarif cukai untuk seluruh jenis rokok elektrik (REL) sebesar 15 persen dan hasil produk tembakau lainnya (HPTL) sebesar 6 persen setiap tahun untuk lima tahun ke depan.
Kebijakan yang otomatis akan menaikkan harga jual rokok ini dilakukan mempertimbangkan empat aspek yaitu pengendalian konsumsi, keberlangsungan tenaga kerja, penerimaan negara dan pengawasan bea cukai ilegal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, kebijakan ini berpotensi mempengaruhi ekonomi dan tingkat inflasi.
"Dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap inflasi diperkirakan terbatas dan sudah dikelola dengan baik," katanya dalam Raker bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (12/12).
Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan harga jual rokok yang akan terjadi tersebut pasti pada akhirnya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi termasuk tingkat inflasi.
Secara rinci, estimasi dampak kebijakan cukai hasil tembakau terhadap inflasi terbatas yaitu sebesar plus 0,10 persen sampai 0,20 persen dan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar minus 0,01 persen sampai minus 0,02 persen.
Sri Mulyani memastikan inflasi diperkirakan melandai pada tahun depan yakni mencapai 3,6 persen (yoy) dipengaruhi oleh melambatnya harga komoditas global secara umum.
Ia menegaskan, adanya cukai sebagai instrumen fiskal untuk mengendalikan konsumsi sejauh ini prevalensi perokok laki-laki dewasa mencapai 71,3 persen, sehingga membuat Indonesia menduduki peringkat pertama tertinggi di dunia.
Sementara prevalensi perokok dewasa yang total sebesar 37,6 persen menduduki peringkat kelima tertinggi di dunia.
Untuk prevalensi merokok anak di umur 10 sampai 18 tahun pun masih tinggi yaitu pada 2018 sebesar 9,1 persen, 2019 sebesar 9,87 persen, 2020 sebesar 8,99 persen, 2021 sebesar 9,18 persen dan 2022 sebesar 9,04 persen.
Sedangkan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan prevalensi merokok anak menjadi 8,7 persen pada 2024.
Harga rokok di Indonesia pun relatif tergolong murah jauh di bawah rata-rata dunia yaitu 4 dolar AS dan paling mahal di Australia sebesar 21 dolar AS, sedangkan di dalam negeri hanya 2,1 dolar AS.
Ketua Asosiasi Pengusaha Eliquid Indonesia (Apei) Daneil Boy berharap, kenaikan cukai tidak memberatkan para pengusaha dan penjual eliquid.
"Saat ini kondisi market dan ekonomi masih berjuang untuk pulih setelah pandemi," kata Daneil.
Ia menegaskan, jika angka kenaikan lebih dari 8 persen maka akan membawa dampak buruk bagi industri vape di Tanah Air.
"Salah satunya adalah ancaman peredaran vape ilegal dari Tiongkok," ujarnya. (Asp)