Telusur Elok Aceh

Mengenang Sosok Ratu Aceh Tajul Alam Safiatuddin, Pemimpin Pengangkat Derajat Perempuan Aceh

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Rabu, 25 Juli 2018
Mengenang Sosok Ratu Aceh Tajul Alam Safiatuddin, Pemimpin Pengangkat Derajat Perempuan Aceh
Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul 'Alam Syah. (Sumber: www.goaceh.co)

TAHUN 1641, Sultan Aceh ke-13 Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah wafat. Tampuk kekuasaan jatuh kepada istrinya, Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul 'Alam Syah. Ia merupakan sultanah pertama pemimpin kerajaan Islam Aceh Darusalam.

Perempuan kelahiran 1612 itu memimpin rakyat cukup lama, dari 1641 sampai 1675. Selama menjadi ratu banyak perubahan telah diperbuat. Salah satunya membolehkan golongan perempuan masuk dalam parlemen penyusun undang-undang.

Dari 70 orang mendaftar, 23 perempuan akhirnya berhasil masuk dalam parlemen. Selain itu, ia juga telah membuat sebuah aturan terhadap orang tua agar membangun rumah khusus untuk anak perempuannya. Undang-udang untuk suami pun dibuatnya; suami harus tinggal di rumah istri sehingga jika terjadi kegaduhan, suami harus keluar untuk menyelesaikannya.

Pada masa kepemimpinan Sultanah Safiatuddin, dunia sastra juga mulai berkembang pesat. Hal tersebut tak lain karena sang ratu merupakan sosok kutu buku. Ia sangat suka mengarang sajak dan cerita-cerita pendek.

Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul 'Alam Syah. (Sumber: tengkuputeh.com)

Tidak sebatas rasa suka saja, Sultanah Safiatuddin pun tergerak membuat perpustakaan demi mencerdaskan rakyatnya. Tak banyak pemimpin memiliki perhatian dengan hal-hal semacam ini. Namun, Sultanah Safiatuddin melakukannya dengan sangat baik.

Tapi di balik gemilang prestasi tersebut, ada beberapa bidang kekuasaannya menurun; politik, ekonomi, dan militer Kerajaan Aceh. Beberapa wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaka berhasil diambil alih kolonial Belanda. Angkatan perang Aceh semakin lemah. Sementara kolonial Belanda, justru sebaliknya.

Akibatnya, Sang Ratu memilih jalan diplomasi terhadap pemerintah kolonial. Meski demikian, Kerajaan Aceh tetap disegani kolonial Belanda maupun Inggris.

Untuk menguasai Aceh sepenuhnya, segala cara telah dijalankan pihak kolonial. Mereka pun menggandeng Kerajaan Johor, dengan menyuruh Sultan Johor Sultan Abdul Djalil Riayat Syah III untuk meminang Ratu Safiatuddin.

Usaha tersebut gagal. Penolakan terjadi dari beberapa kaum di Aceh seperti Tok Batee, Ija Sandang, Aneuk Sukee, dan Kaum Lhee Retoih. Akibat dari penolakan tersebut, para utusan Kerajaan Johor pulang dengan tangan hampa.

Pada 23 Oktober 1675, perempuan cerdas nan bijak itu mangkat. Tapi sebelumnya, Sang Ratu telah menunjuk tiga orang perempuan meneruskan tahtanya; Sultanah Nurul Alam Nkiyahtudin, Sultanah Inyatsyah Zakiatudin serta Sultanah Kemalat Syah.

Kerajaan Aceh akhirnya dijalankan oleh tiga perempuan hebat, yang juga terkenal cerdas dan cakap berbicara. Meski tidak banyak arsip yang mencatat sejarah tentang Sultanah Safiatuddin, tapi usahanya memimpin tentu patut jadi teladan dan diapresiasi.

Keberhasilannya memimpin sebuah kerajaan pun terbilang nyata. Hal ini membuktikan apabila perempuan juga memiliki hak untuk punya sebuah ambisi mewujudkan mimpi. (*)

#Kerajaan Aceh #Telusur Elok Aceh
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan