Telusur Elok Aceh

Mengenang Keberanian Teuku Umar, Sang Panglima Taktik Perang dari Aceh

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Selasa, 24 Juli 2018
Mengenang Keberanian Teuku Umar, Sang Panglima Taktik Perang dari Aceh

Teuku Umar. (Sumber: http://museumovermensen.nl/)

Ukuran:
14
Font:
Audio:

SABTU dini hari, 11 Februari 1899, di Meulaboh, Aceh Barat, NAD, Teuku Umar bersama pasukannya tewas di tangan kolonial Belanda. Puluhan peluru bersarang di dadanya. Teuku Umar gugur sebagai pahlawan saat berusia 45 tahun.

Malam sebelum tewas, suami Cut Meuligou (istri pertama) itu hendak mencegat serta menangkap Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Bersama pasukannya, Teuku Umar datang dari arah Lhok Bubon menuju pinggiran Kota Meulaboh. Namun, rencana itu ternyata diketahui mata-mata Van Heutsz.

Keadaan berbalik. Pasukan kolonial justru menyerang rombongan Teuku Umar di perbatasan Kota Meulaboh, Ujong Kalak. Meski demikian, selama menjadi pemimpin dalam Perang Aceh, sejarah mencatat beberapa taktik Teuku Umar membuat kolonial Belanda kewalahan.

Mardanas Safwan dalam buku Teuku Umar menjelaskan, taktik yang dilakukan oleh Teuku Umar kerap menuai pujian. "Sebagai contoh, dalam peristiwa penyerangan kapal Nicero dan Hoc Canton yang terbukti membuahkan kesuksesan," tulis Mardanas dalam bukunya.

Alhasil banyak senjata kolonial Belanda yang berhasil dirampas para pejuang Aceh di bawah komando Teuku Umar. Meski, di sisi lain menimbulkan korban jiwa dari para pejuang dan juga rakyat Aceh.

Selain itu, taktik lain Teuku Umar yang mengejutkan adalah ketika beliau bersama 13 panglima bawahan dan 250 pasukan menyerahkan diri kepada Belanda pada 30 September 1893.

Di hadapan pemerintah kolonial Belanda, Teuku Umar mengucapkan sebuah prasetia. Sumpah tersebut diucapkannya di depan Gubernur Militer Hindia Belanda di Aceh pada waktu itu, Jenderal Christoffel Deykerhoff.

Pada 1 Januari 1894, beliau dinobatkan serta diberi gelar Panglima Perang Besar oleh Gubernur van Teijn. Tidak hanya itu, Teuku Umar pun diberi izin untuk membentuk legiun pasukan dengan jumlah 250 tentara.

Teuku Umar bersama keluarga besar. (Sumber: http://museumovermensen.nl/)

Persenjataan untuk pasukan Teuku Umar dilengkapi oleh pemerintah kolonial. Sebanyak 380 senapan kokang modern, 800 senapan jenis lama, 250.000 butir peluru, 500 kilogram mesiu, 120.000 sumbu mesiu, dan lima ton timah untuk persediaan mesiu.

Bahkan, kolonial Belanda juga memperindah rumahnya di Lampisang agar layak menjadi tempat tinggal seorang Panglima Besar. Di halaman rumahnya dilengkapi dua meriam kecil.

Mendengar kabar tersebut, rakyat Aceh dan istri ketiga Teuku Umar, Cut Nyak Dien marah. Mereka mengira sosok yang merupakan panutan rakyat, malah berbalik mendukung penjajah.

Akan tetapi, kekecewaan itu berubah. Anthony Reid dalam bukunya Asal Mula Konflik Aceh dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19 menjelaskan, ternyata hal tersebut sengaja dilakukan Teuku Umar guna memperoleh senjata, logistik, dan juga mempelajari siasat Belanda.

Setelah merasa tercukupi, Teuku Umar kembali mengangkat senjata bersama rakyat Aceh dan Cut Nyak Dien. Kolonial Belanda mengalami banyak kerugian.

Untuk mengenang jasanya, berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional bersama istrinya, Cut Nyak Dien.

Taktik atau strategi perang Teuku Umar merupakan tamparan keras bagi kolonial Belanda. Beliau tidak hanya melawan secara frontal, tetapi juga menggunakan taktik mengelabui dengan berpura-pura bekerja sama dengan kolonial Belanda.

#Teuku Umar #Telusur Elok Aceh
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.

Berita Terkait

Bagikan