Mengejar Duit Rp109 Triliun dari Obligor BLBI
Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No.6 Tahun 2021 tentang pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Satgas ini bakal menagih para pengemplang hutang atau 25 obligor BLBI dengan total Rp109 Triliun.
"Saya mendukung kebijakan Presiden, bahwa ini untuk menagih perjanjian yang sudah ditandatangani untuk penyerahan dana dan aset yang masih belum terselesaikan," kata Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin di Jakarta, Selasa (13/4).
Langkah Presiden dengan membentuk Satgas, menunjukkan pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sudah cukup lama tidak kunjung selesai. Satgas tersebut dapat menjalankan tugas dengan optimal untuk mengembalikan dana BLBI dari para obligor.
Baca Juga:
KPK Siap Bantu Satgas Penagih BLBI
Politisi Partai Golkar meminta Satgas penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI itu bersinergi dengan seluruh stakeholder agar dana dan aset negara dapat segera dikembalikan. Selain itu, para pelaku yang terlibat kasus BLBI dapat ditindak hukum.
"Pemerintah perlu melakukan pengawasan kuat dan evaluasi berkala terhadap kinerja dari Satgas tersebut sehingga penyelesaian kasus BLBI dapat diselesaikan sesuai target waktu yang sudah ditentukan," katanya.
Azis menilai, Satgas dan Pemerintah harus melakukan keterbukaan informasi mengenai perkembangan penyelesaian kasus BLBI. Langkah itu agar publik dapat memantau dan mengawasi proses penyelesaian kasus BLBI, pemerintah untuk berkomitmen menyelesaikan kasus BLBI tersebut dengan tuntas, tidak hanya sekedar retorika saja.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan, kerugian negara dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp109 Triliun lebih. Namun demikian, pihaknya masih melakukan perhitungan terkait kerugian negara atas kasus BLBI.
Mahfud menegaskan, pemerintah tak bisa menolak putusan MA yang meniadakan hukum pidana dari kasus BLBI dan mempersilakan masyarakat yang keberatan dengan melaporkan adanya dugaan unsur pidana dalam kasus tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"MA kan sekarang sudah membuat putusan yang itu tidak bisa tolak, itu urusan MA. Bahwa ada masyarakat masih mau mempersoalkan itu silakan lapor ke KPK. Tapi bagi pemerintah kebijakan BLBI tahun 1998 itu sudah selesai, sudah dianggap benar meskipun negara rugi," tuturnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan pemerintah telah memantau kasus tersebut sejak Mahkamah Agung memutuskan kasus BLBI pada Juli 2019. Dalam keputusan dijelaskan bahwa kasus tersebut tidak ada pidananya.
"Kita sudah mulai menginventarisir kalau ndak ada pidana mari kita mulai kerja sekarang untuk menagih perdatanya, sudah mulai. Nah lebih konkret lagi kemudian pada bulan Juli tahun 2020 upaya KPK untuk PK itu tidak diterima oleh MA, berarti sudah selesai enggak ada upaya hukum lain. Upaya PK-nya itu peninjauan kembali sudah dinyatakan tidak diterima resmi kan," ujarnya.
Pemerintah, sudah melakukan rapat-rapat sejak Juni 2020. Kemudian saat KPK mengumumkan SP3, pemerintah pun langsung membuat tim.
"Jadi masyarakat kan curiga wah itu membuat perdata menghilangkan pidana? Memang sudah hilang. Tapi kalau masih ada, bukannya hilang, memang sudah diputus tidak ada pidananya itu oleh Mahkamah Agung," katanya.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti memandang perlu Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memaparkan target kerja kepada publik.
"Publik perlu mengetahui timeline kerja tim satgas, lalu siapa targetnya: si A, B, C. Ini loh target kami untuk sekian triliun dan kapan, jadi dibuka ke publik agar publik dapat mengontrol," kata Bivitri di Jakarta, Minggi (11/4).
Bivitri mengatakan, tim harus transparan betul. Bila tidak, mungkin 2 sampai 3 tahun lagi masyarakat sipil atau publik marah karena tidak tahu apa saja yang sudah dilakukan dan duitnya ada yang kembali atau tidak.
Bivitri mengkritisi, untuk penagihan dana BLBI bukan persoalan membentuk tim karena fungsi penagihan dana negara sendiri sudah melekat di alat-alat negara lain, seperti Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara.
"Dalam pengelolaan negara, penagihan keuangan negara sudah melekat ke jabatan tertentu, tidak usah dibentuk tim lagi," katanya.
Ia menegaskan, kika Presiden ingin menunjukkan kepedulian, tinggal mengumkan sudah menunjuk menteri A, B, dan C untuk melakukan apa saja jadi tidak perlu menerbitkan keppres karena ada administrasi negara yang keluar, seperti uang sekretariat dan lainnya, jadi mubazir.
"Apalagi dalam tim tidak memasukkan KPK, jadi ada pesan politik KPK diabaikan di sini," kata Bivitri.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengatakan, lembaganya siap membantu Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melalui data terkait dengan kasus BLBI.
KPK tekah menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada tanggal 31 Maret 2021 terhadap pemegang saham dan pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dalam perkara dugaan korupsi terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga merugikan kerugian negara hingga Rp4,58 triliun. (Pon)
Baca Juga:
ICW Desak KPK Limpahkan Berkas BLBI ke Jaksa Biar Digugat Perdata