WARGA Depok, Jawa Barat, kecele saat malam pergantian tahun baru 2023. Mereka sudah menunggu berjam-jam di pusat perbelanjaan Margo City. Harapannya, dapat menyaksikan pesta kembang api. Setelah ditunggu hingga lewat pergantian tahun, tak ada kembang api yang memancar.
Lain lagi dengan warga Kaur, Bengkulu. Saat pergantian tahun di sana, kembang api menyemburat indah. Namun, baru beberapa detik langit dihias oleh kembang api, warga mendadak histeris. Sebab, Herlian Muchrim, Wakil Bupati Kaur, terkena ledakan kembang api. Dua jari kirinya putus, sedangkan jari kanannya luka ringan.
Kembang api identik banget dengan pesta pergantian tahun baru masehi. Mengapa? Ini tak bisa lepas dari penemuan kembang api di Tiongkok pada abad ke-7 Sebelum Masehi.
"Alkemis Tiongkok mencampur kalium nitrat, belerang dan arang sehingga menciptakan bubuk mesiu mentah.," tulis lama livescience.com.
Semula tujuan mereka adalah mencari resep untuk kehidupan abadi. "Tetapi apa yang mereka ciptakan tetap mengubah dunia. Begitu mereka menyadari apa yang telah mereka buat, orang Tionghoa percaya bahwa ledakan ini akan menjauhkan mereka dari roh jahat," lanjut livescience.com.
Baca juga:

Tak bisa lepas dari penemuan kembang api di Tiongkok pada abad ke-7 Sebelum Masehi. (Foto: Pexels/Suvan Chowdhury)
Bubuk ini dituangkan ke dalam batang bambu berlubang, lalu membentuk kembang api buatan manusia pertama. Batang bambu adalah pasangan yang paling pas untuk resep tersebut. Sebab, batang bambu akan meledak dengan keras ketika dilempar ke api. "Karena kantong udara berongga yang terlalu panas di dalam bambu," sebut laman americanpyro.com.
Selama ratusan tahun, ledakan dari bambu ini digunakan untuk menandai pergantian tahun baru Tiongkok. Mereka percaya langit yang bersinar kala malam dan suara ledakan dari bambu akan mengusir kekuatan jahat.
Pada abad ke-10 Masehi, orang Tionghoa mengetahui bahwa mereka dapat membuat bom dengan bubuk mesiu. Mereka menempelkan bubuk mesiu ke panah yang mereka tembakkan ke musuh.
Dua ratus tahun berikutnya, kembang api diasah menjadi roket yang bisa ditembakkan ke musuh tanpa bantuan anak panah. Teknologi ini masih digunakan sampai sekarang dalam pertunjukan kembang api.
Kembang api mencapai Eropa pada abad ke-13. Marcopolo, seorang pengelana Italia, berjasa memperkenalkan temuan ini di Eropa. Di Italia, kembang api digunakan untuk merayakan pertunjukan seni. Sedangkan di Inggris, penguasa menggunakan kembang api untuk menghibur rakyatnya saat penobatan raja baru. Kastil dipenuhi warna merah menyala di kegelapan malam.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Renaisans (abad ke-15) mendorong penciptaan kembang api yang berwarna-warni. "Orang Italia menciptakan campuran dengan berbagai bahan kimia, menghasilkan pertunjukan kembang api yang lebih mirip dengan versi modern," tambah livescience.com.
Baca juga:
Pesta Kembang Api Mewah Khas Abu Dhabi dan Dubai Sambut Hari Raya Idul Fitri

Mereka menggunakan strontium untuk warna merah, barium untuk warna hijau, tembaga untuk warna biru, dan sodium untuk warna kuning.
Kembang api sampai di Nusantara jauh sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada abad ke-16. Orang Tionghoa kemungkinan yang membawa kembang api ke wilayah ini.
Setelah orang-orang Belanda mulai menaklukan sejumlah kota pelabuhan di Jawa, kembang api mulai dilarang. Larangan ini berlaku pada bulan kemarau. Sebab penguasa Kompeni (VOC) menganggap kembang api biang keladi kebakaran di perkebunan dan permukiman. Apalagi saat itu, rumah warga lokal terbuat dari kayu atau rumbia.
Meski ada larangan, warga Tionghoa di Hindia Belanda kerap menyalakan kembang api saban tahun baru Imlek. Selain itu, pawai atau arak-arakan dan pasar malam di Hindia Belanda pada abad ke-20 sering menggunakan kembang api sebagai sarana hiburan tambahan. Orang Tionghoa pulalah pemilik pabrik kembang api terbanyak di Hindia Belanda pada abad ke-19.
Dominasi kekuasaan Barat atas wilayah lain di belahan bumi Timur mulai tak tergoyahkan pada awal abad ke-20. Ini membawa kebiasaan baru kepada masyarakat setempat. Orang-orang Barat telah mempunyai sejarah panjang merayakan tahun baru masehi sejak Kalender Julian--dari nama Kaisar Julius--digunakan pada abad ke-5 SM.
Seiring meluasnya penggunaan kembang api di berbagai penjuru, orang-orang Eropa menggunakan kembang api untuk menghiasi langit-langit saban malam pergantian tahun. Kebiasaan ini diadopsi oleh warga koloni Eropa di antero bumi.
Hingga hari ini, perayaan tahun baru masih identik dengan kembang api. Nyala kembang api menjadi simbolisasi pengusir kegelapan dan harapan terhadap hari baru yang lebih baik dan bersinar. Namun, menyalakan kembang api pun harus hati-hati. Salah-salah bukan hari baik yang diperoleh, melainkan justru hari naas. (dru)
Baca juga:
Dari Angpau hingga Kembang Api, Beginilah Warga Tionghoa Merayakan Imlek