PADA Oktober 2008, telah beredar kabar Steve Jobs, CEO Apple mengalami serangan jantung. Walau kabar tersebut tidak benar, hal ini menimbulkan harga saham Apple turun sehingga menyebabkan kerugian sebesar USD9 miliar.
Kemunculan media massa yang memanfaatkan wahana internet juga semakin memudahkan penyebaran informasi tanpa adanya filter. Sebuah unggahan di media sosial seperti Instagram atau penyebaran pesan lewat messaging system seperti WhatsApp mampu disampaikan kepada puluhan orang sekaligus dalam hitungan menit.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Finn Agency menunjukkan kabar buruk lebih cepat tersebar di media sosial. Penyebaran kabar buruk, entah akurat atau tidak, di media sosial juga menyulitkan kita untuk mencari siapa yang pertama kali menyebarkan rumor.
Baca juga:
Fenomena ini juga pernah merugikan Starbucks pada 2006 lalu. 14 tahun lalu, seorang aktivis media anti-zionisme (menentang negara Israel) menulis sebuah surat hoax yang mengatasnamakan CEO Starbucks Howard Schultz. Surat tersebut menjelaskan bagaimana Starbucks menyalurkan sebagian keuntungannya kepada tentara Israel.
Surat hoax tersebut langsung viral. Penyebaran pesan ini terjadi dimana-mana baik di Facebook, terusan melalui SMS, e-mail, sampai forum-forum internet. Kabar ini juga menarik perhatian media-media besar seperti Daily Egypt dan Business Today. Meski begitu, media-media besar ini telah melakukan konfirmasi kepada Starbucks dan menyampaikan fakta yang berupa sanggahan dari isi surat tersebut.

Sanggahan tersebut nyatanya tidak berdampak baik. Semua sudah terlambat. Rumor ini terus beredar di dunia maya dan membuat sebagian orang percaya akan hal tersebut. Kasus surat palsu ini juga berdampak sampai bertahun-tahun.
Pada Januari 2009, para pendemo di Gaza meminta Starbucks untuk tutup di Beirut, Lebanon. Beberapa hari kemudian, para perusuh menghancurkan jendela dua gerai Starbucks di London, Inggris.
Baca juga:
Lantas, mengapa kabar burung bisa tersebar begitu cepat? Dilansir dari Forbes, dalang utama dari penyebaran rumor ini terletak pada bias manusia ketika informasi tersebut disebarluaskan.
Dalam sebuah penelitian, ada seseorang yang mengatakan kepada para konsumen bahwa sebuah restoran menggunakan daging cacing pada hamburger yang mereka jual. Tetapi informan tersebut menunjukkan bahwa seolah ia juga masih meragukan kabar tersebut.

Penelitian ini mengecek bagaimana penyebaran rumor dari mulut ke mulut ini terjadi. Biasanya setiap transmisi informasi ini gagal dalam menyampaikan keraguan awal yang hadir sejak pertama kali rumor disebarkan.
Penelitian tersebut menemukan pesan yang disampaikan dari mulut ke mulut bukanlah "aku tidak begitu yakin, tetapi aku dengar restoran ini menyajikan daging cacing,", melainkan "restoran ini menyajikan daging cacing,". Inilah proses bagaimana rumor bisa dipersepsikan sebagai fakta.
Maka dari itu, para pemilik bisnis harus bisa lebih peka terhadap rumor yang menerpa bisnisnya seperti memberikan klarifikasi yang disertai dengan sederet fakta atau bukti. Dua hal penting ini akan menunjang statement yang diberikan untuk meraih kembali kepercayaan publik. (shn)
Baca juga: