PEMERATAAN pembangunan belum berhasil dilaksanakan. Bahkan dalam bidang sastra pun, pusat karya, penulis, penerbit, dan diskusi masih di Pulau Jawa. Itulah mengapa, para sastrawan dari Indonesia bagian Timur mulai mencoba menarik perhatian agar pembaca tidak melulu terpaku pada karya dan penulis di Pulau Jawa.
Salah satunya dengan membawa karya dan penulis dari 'pusat'-nya Indonesia ke Timur, dan bahkan sastra Internasional, dalam sebuah festival sastra. Acara yang sangat sering diadakan di Pulau Jawa tapi hampir tidak ada di kota-kota lain seperti Makassar. Muncullah Makassar International Writers Festival (MIWF) yang kemudian memunculkan sastrawan-sastrawan baru dari Timur Indonesia berikut.
Baca Juga:
Perjalanan Karya Sastra yang Tak Pernah Mati Meski Terbakar Waktu

Mario F. Lawi dari Kupang, Ilda Karwayu dari Lombok, dan Gody Usnaat dari Keerom, Papua. (Foto: makassarwriters.com)
Mario F. Lawi
Mario F. Lawi masuk dalam Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kupang. Dia juga mengelola terjemahan untuk bacapetra.co. Buku puisinya yang pernah diterbitkan antara lain Ekaristi (2014), Lelaki Bukan Malaikat (2015), Keledai yang Mulia dan Puisi-Puisi Lainnya (2019), serta Bui Ihi: Pendinginan Panen dan Puisi Lainnya (2019, diterjemahkan dalam Inggris oleh John McGlynn). Buku terjemahannya yang telah diterbitkan adalah Elegedia: elegi-elegi Pendek karya Sulpicia seorang penyair perempuan di era Latin klasik.
Ilda Karwayu
Ilda Karwayu menulis puisi, fiksi dan nonfiksi. Pada tahun 2017, berkat Yayasan Kelola, ia menjadi salah satu peserta Magang Nusantara dengan penempatan Divisi Kebudayaan di The Japan Foundation, Jakarta. Ia menjadi salah satu penulis pendatang baru di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2019. Ilda telah menerbitkan dua antologi puisi, yaitu EULOGI (PBP, 2018), dan Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (GPU, 2020). Setiap hari ia mengajar Bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI), dan menjalankan kegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Gody Usnaat
Gody Usnaat merupakan nama pena dari Gaudiffridus Sone Usnaat yang biasa disapa Gody. Ia lahir di desa Faenono, Miomaffo Timur, NTT, pada tanggal 1 November 1984. Sejak 2014, ia bekerja sebagai katekis di paroki St. Boniface-Ubrub-Dekan Keerom-Jayapura Keuskupan. Selain itu, ia juga mengurus Rumah Baca Jendela Semografi yang dirintis oleh Buku Untuk Papua (BUP) dan Tim Nusantara Sehat. Kini ia tinggal di Desa Umuaf, Keerom, Papua, di mana ia dan teman-temannya menemani anak-anak setiap sore untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Pada tahun 2017, ia terpilih sebagai salah satu penyair muda Dewan Sastra Asia Tenggara Indonesia (MASTERA). Pada tahun 2019, ia menjadi peserta aktif dalam Jogjakarta International Literary Festival. Buku pertamanya berjudul Mama Menganyam Noken (penerbit Papua Cendikia) (2019), diterbitkan ulang pada tahun 2020 oleh penerbit Kompas. Ia sedang mempersiapkan buku puisi keduanya, Bertemu Belalang.
Baca Juga:

Faisal Oddang
Faisal Oddang adalah penulis muda asal Wajo, Sulawesi Selatan. Bukunya, Puya ke Puya, terpilih sebagai novel terbaik 2015 versi Majalah Tempo. Ia dianugerahi Robert Bosh Stiftung dan Literary Colloquium Berlin Grants 2018, Iowa International Writing Program 2018, ASEAN Young Writers Award 2014, Best Short Stories Writers 2014 oleh Harian Kompas, dan Prosa Writer of The Year 2015 oleh Majalah Tempo. Pernah diundang sebagai pembicara di Ubud Writers and Readers Festival 2014, Salihara International Literary Biennale 2015, dan Makassar International Writers Festival 2015. Kemudian mengikuti residensi penulis 2016 di Belanda oleh Komite Buku Nasional Indonesia. Karyanya terinspirasi oleh sejarah, warisan, dan nenek moyang budaya tradisional Indonesia. Ia mendirikan Institut Sastra Makassar: sebuah sekolah penulisan kreatif, penerbit dan konsultan sastra yang berbasis di Makassar.
Ama Achmad
Ama Achmad terpilih sebagai MIWF Emerging Writers pada 2014. Ia aktif sebagai anggota yayasan sastra Babasal Mombasa sejak 2016. Ia menggagas Festival Sastra Banggai pada 2017. Ama menulis puisi, esai, dan menjadi editor lepas. Puisi-puisinya telah muncul di beberapa antologi bersama. Ia dan komunitasnya menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk literasi dan pendidikan, termasuk Festival Sastra Banggai yang tahun ini memasuki tahun ketiga. (aru)
Baca Juga: