Menengok Jejak Sejarah Peristiwa Situjuah
SETELAH Indonesia merdeka, suasana di tanah air masih kalut. Belanda yang belum ikhlas melepaskan Indonesia terus menekan pemerintah yang baru seumur jagung. Puncaknya, kerusuhan terjadi saat Indonesia dan Belanda menemui jalan buntu dalam Persetujuan Renville pada Juni 1948. Belanda yang marah langsung menyerang dan menangkap para pemimpin Indonesia.
Kejadian ini memaksa Indonesia harus membentuk pemerintahan darurat. Lewat Sidang Kabinet dadakan pemimpin kala itu Sukarno-Hatta memerintahkan Syafriddin Prawiranegara untuk memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI inilah yang akhirnya berhasil mempertahankan kemerdekaan bumi pertiwi ini.
Namun, bukan tidak ada peristiwa yang terjadi dalam sejarah kepemerintahan darurat ini. Ratusan orang Indonesia terpaksa gugur dalam menahan gempuran Belanda. Mulai dari tragedi yang terjadi di Bukittinggi. Di sana PDRI luluh lantah yang kemudian terpaksa dipindahkan ke Koto Tinggi di Kabupaten Limapuluh Kota. Hal serupa terulang lagi.
Lima hari setelah PDRI diserang di Koto Tinggi, gempuran berpindah ke Situjuah. Serangan yang dilancarkan Belanda kali ini bisa dikatakan tragedi paling tragis dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kenapa tidak, banyak petinggi PDRI dan rakyat sipil di tembaki tentara Belanda.
Kejadiannya bermula saat Gubernur militer dan panglima divisi Banteng Kolonel Dahlan Ibrahim memerintahkan untuk mengadakan rapat besar. Kemudian ditetapkan, rapat dilakasanakan di Lurah Kincia, sebuah daerah dibawah jurang di Situjuah. Tempat ini dipilih karena sangat tersembunyi. Rapat yang dihadiri 30 orang tersebut dimulai.
Awalnya rapat berlangsung aman. Namun, di pertengahan tiba-tiba saja pasukan Belanda mengepung dan menembaki anggota rapat. Tercatat beberapa peserta rapat tewas dalam serangan tersebut. Nama-nama seperti Chatib Soelaeman, Bupati limapuluh kota, Arisum St. Alamsyah, Letkol Munir Latif (komandan militer dari Painan), Mayor Zainuddin, Kapten Tantawi, Letnan Anizar, Sjamsul Bahri, Rusli, Baharuddin tewas dalam kejadian tersebut.
Untuk mengenang kejadian tragis ini, Pemerintah mendirikan bangunan supaya masyarakat tak lupa dengan perjuangan para pahlawan untuk mempertahan kan kemerdekaan Republik Indonesia. Kali ini, merahputih.com berkesempatan untuk mengunjungi situs sejara tragedi yang terjadi di Lurah Kincia, Situjuah Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Monumen Peristiwa Situjuah
Baru saja memasuki daerah Situjuah, kita akan disuguhkan sebuah bangunan yang bertuliskan "Monumen Peristiwa Situjuah 15-1-1949". Monumen ini terletak di pusat keramaian Situjuah. Monumen ini terletak tak jauh dari peristiwa penembakan para peserta rapat besar PDRI dan militer.
Mesjid Pahlawan 15.1.49
Untuk mengenang para pahlawan yang gugur dalam serangan Belanda di Situjuah. Pemerintah setempat mendirikan sebuah rumah ibadah berupa mesjid yang dinamai Mesjid Pahlawan 15.1.49. Pada gerbang masjid dituliskan nama-nama orang-orang yang terlibat dalam tragedi tersebut. Letaknya bersebelahan dengan Monumen Peristiwa Situjuah.
Pondok Tempat Rapat Besar
Berjalan sedikit ke bawah kita akan menemukan sebuah gubuk yang di tengahnya ada batu bertulis. Di tempat inilah, 30 orang tersebut menggelar rapatnya dan nama-nama mereka diabadikan dalam batu tersebut.
Kuburan Massal Para Pahlawan
Kuburan massal ini terdiri dari 9 orang. Mereka adalah, CH Sulaiman (MPRD), Arisun Stalansah (Bupati), Munir Latif (Letkol), Zainuddin (Mayor), Tantawi (Kapten), Azinab (Let I), Syamsul Bahri (Let II), Rusli (Sopir), dan Syamsuddin (PMT). Lokasinya tak jauh dari tempat mereka menggelar rapat. (*)