Menelusuri Jejak Tionghoa di Buitenzorg

Ana AmaliaAna Amalia - Selasa, 26 Januari 2016
Menelusuri Jejak Tionghoa di Buitenzorg
Vihara Dhanagun (Foto: MerahPutih/Noer Ardiansyah)

MerahPutih Budaya - Jika bicara tentang Jalan Suryakencana, Bogor, mungkin yang terbesit dalam pikiran adalah Tiongkok dan jejak Tionghoa. Dengan gapura yang di depannya bercokol dua macan yang menjadi khas Kerajaan Siliwangi, terang saja tidak melupakan markah dari Bumi Pasundan. Pada gapura tersebut, tersemat tulisan Lawang Suryakencana, Kampung Tengah - Buitenzorg, Dayeuh Bogor yang berarti Pintu masuk atau gerbang Suryakencana.

Menariknya, di sepanjang jalan itu para pelancong akan merasakan suasana yang bukan layaknya Kota Bogor melainkan berada di Negeri Tirai Bambu, China. Dari mulai makanan yang tersaji seperti Kedai Ngo Hiang (Pangsit Penganten), dan juga kios seperti Toko Naga Mas yang menjual pernak-pernik Tionghoa.

Selain itu, bangunan menarik lainnya yang berada di sana adalah Vihara Dhanagun yang memiliki nilai historis tersendiri. Bahkan, salah seorang pengurus tempat ibadah tersebut, Ko Ayung dengan lihai menceritakan jejak sejarah Tionghoa di tanah Bogor (zaman Belanda dikenal Buitenzorg).

Menurut pemaparannya yang didapat dari cerita turun-menurun adalah waktu zaman dulu, para pedagang dari Belanda dan Tiongkok datang ke tanah tersebut sehingga terjadi suatu persaingan yang kemudian pecah perang pada tahun 1740.

Ketika itu, pedagang Belanda didukung oleh pemerintahan kolonial (Belanda). Dan untuk mengendalikan situasi, mereka (Pemerintahan Belanda) mendirikan kampung-kampung etnis agar gampang diawasi. Ada istilah Chinese Town, Kampung Arab.

Oleh Belanda, semua etnis itu dikotak-kotakan untuk mencapai tujuan mereka, politik adu domba agar satu sama yang lain tidak ada kerukunan.

"Kalau saja dulu Indonesia bersatu, ga akan dijajah oleh mereka. Jadi, kalau kita belajar sejarah. Otomatis itu akan menjadi pelajaran bagi generasi muda sehingga tidak selalu meributkan hal-hal yang kecil," ucap Ko Ayung di Vihara Dhanagun, Kamis (14/1).

Dari Chinese Town, jelas Ko Ayung, akhirnya kumpul orang-orang Tionghoa sehingga mereka mendirikan kuil ini, yang kemungkinan didirikan pada tahun 1746 oleh komunitas pedagang dari suku Hokkian.

"Jadi, di Tiongkok Selatan ada satu nama Provinsi Fujian. Nah, Hokkian itu adalah penduduk sana. Pada zaman dulu, di sini hanya untuk orang-orang Tionghoa. Untuk bahasa sendiri, karena ini Jawa Barat, Pajajaran, bahasa Sunda.

Berawal dari Perdagangan

Para pedagang yang baru datang belajar sama yang sudah lama di sini. Kelenteng dulu awalnya berguna untuk ciri khas dari komunitas Chinese. Kelenteng sebagai batu loncat. Awalnya mereka berkumpul dan ditampung di kelenteng. Di sini mereka membicarakan masalah kongsi dagangnya atau misalnya mau mencari pekerjaan, di sinilah tempatnya," jelasnya.

Lebih dalam ia menjelaskan bahwa keadaan zaman dulu lokasi tersebut merupakan hutan belantara dengan luas tanah lebih kurang 7.000 meter. Pada masa itu, pemerintah masih dipegang oleh kerajaan. Dan setelah Belanda berhasil menjajah, sebagian tanah ini diambil oleh mereka untuk mendirikan istana sebagai tangsi militer atau markas tentara knil. Setelah Indonesia merdeka, tangsi ini tidak berguna dan dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi pasar tradisional.

"Kalau namanya kontribusi Tionghoa terhadap masyarakat lokal (pribumi Bogor), itu tergantung dari sudut pandang orang lain. Ada yang bilang baik, ada juga yang bilang kurang. Saya sulit untuk mengatakannya. Begini contohnya, kalau mereka usahanya berkembang, otomatis kan butuh pegawai. Nah, warga akhirnya diajak untuk bekerja. Misalnya juga dalam hal berjuang, mereka juga ikut. Hanya saja kalau dalam sejarah, tidak pernah tertulis.

Contoh lagi, dalam agama Islam. Memang siapa yang menyebarkan? Orang kan mengenalnya dengan nama Raden Patah. Nama aslinya kan, Jin Bun. Yang ditanamkan dalam politik hanya kebencian," pungkasnya.

Dan patut juga diketahui, sebelum menjadi Vihara Dhanagun, kuil tersebut bernama Hok Tek Bio, hingga akhirnya resmi menjadi cagar budaya.

 (Foto: MerahPutih/Noer Ardiansyah)

"Dulu kan namanya Hok Tek Bio, tidak usah pakai nama kelenteng. Karena bio sendiri artinya kelenteng. Kalau tidak salah, sekitar tahun 1970-an. Sebelum dibongkar, akhirnya dijadikan cagar budaya yang bukan lagi milik kami melainkan milik pemerintah. Sekarang namanya Cagar Budaya Vihara Dhanagun," katanya.

Dari hal inilah, akhirnya Jalan Suryakencana terus berkembang menjadi tempat dengan nuansa Tionghoa seperti di kota-kota kebanyakan lainnya di Indonesia. "Saya kan keturunan, tapi bukan keinginan saya untuk menjadi keturunan. Selama ini kan, kami (keturunan) juga memberikan semuanya untuk Indonesia. Memang untuk negara Tiongkok? Kan tidak. Saya mencari mata pencaharian untuk kemajuan Indonesia," tegas Ko Ayung.

Sebagai penutup, Ko Ayung juga menyebutkan salah satu ajaran leluhur mereka yakni, 'she ai che ni chw sung tie,' yang di mana memiliki arti 4 penjuru lautan adalah saudara.

"Itu adalah ajaran Konghucu, she ai che ni che sung tie, yang namanya 4 penjuru adalah saudara kita, bukan untuk mencari ribut. Dalam prinsip orang-orang Tionghoa, jangan Anda mematikan usaha seseorang. Di dalam usaha mereka, bukan system segitiga, tapi lingkaran yang disebut Tai chi. Di dalam lingkaran tersebut kan ada yang namanya Yin Yang, keseimbangan," tutupnya. (Ard)

 

BACA JUGA:

  1. Mengintip Kemeriahan Warga Jelang Imlek di Petak Sembilan 
  2. Jelang Imlek, Pengemis Banjiri Vihara
  3. Kesederhanaan Etnis Tionghoa Tercermin di Petak Sembilan
  4. Kenapa Perayaan Tahun Baru Tionghoa Selalu Hujan dan Angin?
  5. Inti Tahun Baru Tionghoa Menurut Pengurus Vihara Dhanagun, Bogor
#Tionghoa #Vihara #Imlek
Bagikan
Ditulis Oleh

Ana Amalia

Happy life happy me
Bagikan