GAMBAR dalam poster memperlihatkan sosok pemuda dengan mulut lebar seolah berteriak menggunakan kekuatan lengannya bercerai dari belenggu. Sementara tangan kanannya mencengkeram bambu yang mengikatkan bendera Merah-Putih, dan dibawahnya tertulis 'Boeng, Ajo Boeng'.
Setelah menyelesaikan sapuan kuasnya dengan Dullah sebagai model pada poster yang paling populer selama masa revolusi itu, Affandi lantas meminta saran pada Chairil Anwar, kata-kata yang tepat untuk memicu semangat juang. Tercetus lah frasa, 'Boeng, Ajo Boeng'.
'Boeng, Ajo Boeng', menurut rekan sesama seniman di masa revolusi, S Sudjono dalam Cerita Tentang Saya dan Orang-Orang Sekitar Saya, didapat Chairil Anwar dari ajakan perempuan penjaja cinta kepada lelaki yang melintas.
Baca juga:
Bang Pi`ie Kecil-Kecil Buaya Pasar Senen

Affandi, Dullah dan Chairil Anwar, merupakan bagian dari Seniman Senen atau pelaku seni yang biasa nongkrong di daerah Senen. Poster buatan mereka berhasil menangkap deru semangat revolusi dengan ruh kawasan Senen.
Wilayah senin menjadi pertemuan berbagai pejuang dengan latar belakang seniman, pemuda, kecu, perampok, jago, bromocorah, dan pelacur. Dengan berbagai upaya, mereka turut mewarnai masa revolusi.
Pada masa revolusi, selain menjadi panggung para lelaki di 'dunia hitam', tak sedikit peran perempuan penghibur ini dalam andil merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Robert Cribb pada Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta, para perempuan pekerja seks komersial di daerah Senen itu menyelundupkan senjata lewat Singapura untuk para pejuang yang bergabung dalam Laskar Rakyat Jakarta Raya (LRJR).
"Senjata-senjata tersebut merupakan hasil pencurian lalu diselundupkan lewat Singapura dan dengan bantuan pelacur-pelacur Senen yang mendapatkannya dari tentara Hindia," tulis Robert Cribb.
LRJR merupakan salah satu badan kelaskaran paling penting di masa revolusi. Laskar ini terdiri dari tujuh pasukan inti dengan tingkat kekuatan beragam. Wilayah mereka tersebar di Jakarta, Bekasi, sampai Karawang.
Baca Juga:

Sukarno bahkan mengaku sempat menandatangi lokalisasi sebagai tempat rapat agar terhindar dari selisik tentara NICA, dan mengutus pelacur sebagai mata-mata.
"Pelacur adalah mata-mata paling baik di dunia," kata Bung Karno pada Cindy Adams dalam Untold Story, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kemudian, selain di Jakarta, Bekasi dan Karawang, peran pelacur pun ada di beberapa kota di Indonesia. Salah satunya adalah tentang membludaknya para pengungsi, dan tingginya angka kriminal di Yogyakarta. Ini membuat dr. Moestopo beroleh ide mengajak perempuan penghibur dan orang-orang dari 'dunia hitam' untuk bergerak dalam fron perjuangan dibanding menyusahkan masyarakat.
Dikutip dari Historia, pencopet, maling, rampok, dan perempuan penjaja cinta di antero Yogyakarta, lantas dikumpulkan dalam satu barisan bernama Barisan P. Termasuk di dalam pasukan ini adalah para kriminal asal Surabaya dan Gresik.
Kemudian Moestopo meminta bantuan Kolonel TB. Simatupang untuk melatih mereka. Tujuannya agar mereka mengerti ilmu dasar kemiliteran. Setelah latihan dasar kemiliteran, sekitar 100 personel Barisan P ikut hijrah dengan Moestopo ke Subang.
Kemudian, di Subang Moestopo mengganti nama Barisan P menjadi Tentara Rahasia Tinggi (Terate) berisi dua kelompok, Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelatjoer (BWP). (Ryn)
Baca Juga:
Hasil Lengkap 'Visum et Repertum' Patahkan Hoax Siksa Keji 7 Pahlawan Revolusi