Seni

Menelisik Isu Geografi dan Keragaman oleh Seniman di Museum MACAN

Iftinavia PradinantiaIftinavia Pradinantia - Minggu, 19 September 2021
Menelisik Isu Geografi dan Keragaman oleh Seniman di Museum MACAN
Karya seni yang akan tampil di Museum MACAN (Sumber: Istimewa)

KETIKA fenomena pandemi bergesekan dengan karya seni, di sanalah tercipta mahakarya baru. Potret menyedihkan pandemi justru tergambar apik dan epic dalam sejumlah karya seni rupa yang akan segera ditampilkan di Museum MACAN Desember mendatang.

Di proyek bertajuk 'Present Continuous/Sekarang Seterusnya' tersebut, sejumlah perupa dan komunitas seni dari berbagai daerah Indonesia berkumpul. Proyek tersebut menjadi ekspresi mereka atas pandemi COVID-19 di Indonesia.

Baca Juga:

Merspons Pandemi, Museum MACAN Hadirkan 'Present Continuous/Sekarang Seterusnya'

Lebih dari sekadar ekshibisi, 'Present Continuous/Sekarang Seterusnya' akan dipresentasikan melalui ruang fisik. Isu geografi, keragaman, serta peran yang akan diambil oleh seniman dan budaya dalam membentuk ulang visi aktivitas seni global akan disajikan dengan apik dan menawan.

Pameran yang diinisiasi dan diorganisir oleh Museum MACAN tersebut melibatkan kurator dan lima organisasi seni. Kurator yang berpartisipasi di acara tersebut adalah Anwar Jimpe Rachman, Arie Syarifuddin, Elia Nurvista, Putra Hidayatullah, dan Rizki Lazuardi. Sementara komunitas seni yang akan menyemarakkan acara tersebut adalah Biennale Jogja, Indeks, Jatiwangi art Factory, LOKA, dan Makassar Biennale.

Kelima kurator yang ikut serta dalam pameran seni tersebut memiliki 'andalannya' masing-masing untuk tampil di proyek Present Continuous/Sekarang Seterusnya. Seniman andalan kelima kurator tersebut adalah Arifa Safura & DJ Rencong (Banda Aceh), Mira Rizki (Bandung), Muhlis Lugis (Makassar), Kolektif Udeido (Jayapura), dan Unit Pelaksana Terrakota Daerah (UPTD) (Majalengka).

museum MACAN
Muhlis Lugis dengan teknik cukil kayu. (Sumber: Istimewa)

Anwar Jimpe Rachman selaku ko kurator mengungkapkan alasannya memilih Muhlis Lugis untuk tampil di Museum MACAN. "Muhlis Lugis memiliki pendekatan menarik terhadap cukil kayu, sebuah metode yang tidak banyak dilakukan oleh seniman dari Makassar. Karyanya berfokus pada detail, dan ia memilih kisah Sangiang Serri, atau dikenal sebagai Dewi Padi dalam cerita rakyat Sulawesi Selatan, kemudian divisualisasikan dalam bentuk grafis," ujarnya. Menurut Anwar, apa yang dilakukan oleh Muhlis berhubungan erat dengan apa yang menjadi perhatian utama dari Makassar Biennale, yaitu garis Wallacea.

Baca Juga:

Museum MACAN Hadirkan 'Kisah Antah-berantah' untuk si Kecil

Sementara Arie Syarifuddin memilih kolaborasi dengan UPTD (Unit Pelaksana Terrakota Daerah) asal Majalengka karena UPTD akan menampilkan Terraditionale. Terraditionale adalah nilai-nilai tradisional dari kebudayaan terakota di Jatiwangi, yang dipresentasikan dalam bentuk rumah tradisional terakota.

Adapun ko-kurator Elia Nurvista mengundang Kolektif Udeido yang berbasis di Papua untuk berpartisipasi menampilkan karya terbaru mereka yang berupa ruang perjalanan spiritual masyarakat Papua. "Di Papua setiap suku memiliki kepercayaannya masing-masing, namun pada hakikatnya memiliki kesamaan akan pentingnya ruang spiritual dalam kehidupan," tuturnya.

Museum MACAN
UPTD mepresentasikan rumah tradisional terakota. (Sumber: Istimewa)

Elia menjelaskan spirit kuratorial Biennale Jogja Seri Ekuator yang ingin terus mempertanyakan dan membawa persoalan dekolonisasi, serta menyoroti persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan politik kontemporer membuat karya Udeido penting untuk dihadirkan.

"Tema yang ingin coba disajikan oleh Udeido misalnya meningkatnya kesadaran masyarakat adat atas warisan budaya, usaha-usaha mendekolonisasi cara pikir, merebut kembali wilayah teritorial dan memperjuangkan posisi sosial; hingga bentuk-bentuk modernisasi yang dipaksakan sehingga menggeser spiritualitas, pengetahuan serta cara hidup yang telah menjadi laku keseharian," urainya

Seorang ko-kurator bernama Putra Hidayatullah memulai dengan sebuah riset sederhana yang berfokus pada permasalahan terhadap ruang, manusia, dan memori. Dari riset tersebut ia menemukan gelembung-gelembung cerita yang berkaitan erat dengan memori yang dimiliki oleh semua orang. "Perjumpaan saya dengan Arifa Safura yang berkolaborasi dengan DJ Rencong membawa permasalahan ini lewat cerita dan trauma dua individu yang terkoneksi dengan memori kolektif atas apa yang terjadi di masa lalu di Banda Aceh," kisahnya.

Dari eksplorasi tersebut mereka menemukan bahwa masa lalu bagi mayoritas orang menjadi kenangan yang dapat dikenang, tapi bagi sebagian orang dapat menjadi hantu yang menggerakkan perilaku seperti seorang dalang mengendalikan wayang. "Dari segi pendekatan artistik, saya memilih Arifa dan DJ Rencong yang memiliki keunikan dalam menggabungkan seni rupa dengan musik, cerita, dan instalasi seni.”

Museum MACAN
Arifa Safura berkolaborasi dengan DJ Rencong. (Sumber: Istimewa)

Sementara itu Rizki Lazuardi ko-kurator mengungkapkan 'Present Continuous/Sekarang' Seterusnya, Indeks bersinergi dengan kerangka kuratorial yang dimulai tahun ini yaitu ‘dinding tak terlihat’ (‘invisible walls’). "Kami melihat dengan kritis batasan yang ada di masyarakat baik batasan fisik maupun non-fisik dan bagaimana masyarakat mengatasi batasan tersebut," ungkapnya.

Dari penjabaran para ko-kurator tersebut tentu kita bisa membayangkan akan seperti apa pameran yang berlangsung pada Desember mendatang. (avia)

Baca Juga:

Memulai Karya Seni di Rumah dengan Macan Home Kit

#Seniman #Museum Macan #Museum #Pameran Seni #Seni Pahat #Karya Seni Unik #Seni Rupa
Bagikan
Ditulis Oleh

Iftinavia Pradinantia

I am the master of my fate and the captain of my soul
Bagikan