Laporan Utama

Sudah Bahagiakah Para Milenial dan Generasi Z Indonesia?

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 17 Maret 2020
Sudah Bahagiakah Para Milenial dan Generasi Z Indonesia?
Ilustrasi. (Fikri/MerahPutih.com)

FISKA Purnama semula tak merasa aneh melihat banyak orang belanja di supermarket langganannya. Maklum, hari itu biasa disebut "tanggal muda". Momentum kebanyakan orang menerima gaji, lalu dibelanjakan kebutuhan pokok bulanan. Termasuk Fiska dan keluarganya. Bersama ibunya dia meniti troli menyisir lorong demi lorong mencari barang incaran di rak.

Kejanggalan mulai dirasakan Fiska saat mendapati beberapa rak di lorong khusus sembako kosong. Ia merasa makin aneh ketika melihat banyak orang berkerumun di depan rak mie instan. Dia mendekat. Makin heran lagi. “Kenapa orang-orang pada menumpuk banyak makanan instan di troli,” kata Fiska dalam hati.

Karena melihat perilaku orang-orang seperti itu, dia memutuskan ikut membeli bahan makanan dalam jumlah melebihi bulan sebelumnya. Alasannya takut kehabisan.

Ia dan ibunya bergerak cepat. Mengambil beras, tissue, dan mie instan berdus-dus. Dari troli tampak telur mendominasi ketimbang barang lain. "Beli telur banyak banget karena takut (habis). Namanya juga masyarakat +62," jelas perempuan berusia 23 tahun tersebut.

Ternyata aksi borong sembako olah masyarakat itu terjadi setelah Presiden Jokowi disambung Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberi keterangan kasus pertama COVID-19 menjangkit dua orang, ibu dan anak, warga Depok, Jawa Barat, pada 2 Maret lalu.

Masyarakat panik. Memutuskan membeli kebutuhan pokok dalam jumlah besar untuk stok jangka panjang atau dikenal dengan istilah panic buying. Fenomena itu terutama terkait Corona sudah menunjukan indikasi sejak keberadaan masker langka di pasaran, dan bila ada pun harganya sangat fantastis. Kasus semacam itu pun terjadi di belahan dunia. Saat Corona menyebar Australia, rak-rak toilet papar di supermarket kosong lantas jadi pemandangan umum.

Saat terjadi panic buying, orang tak akan lagi berpikiran panjang untuk menimbang anggaran. "Lebih-kurang habis Rp 4 juta karena barengan dengan jadwal belanja bulanan," sambung Fiska.

Ia dan keluarga mengaku ikut panik lalu membeli dalam jumlah besar karena terdorong orang di sekitar saat sedang belanja bulanan. Meski begitu, Fiska mengaku pengeluaran itu tak sampai membuat tabungannya berkurang tapi tak terlalu parah.

Corona dan fenomena panic buying bagi beberapa orang justru membuat tabungan jebol. Anggaran belanja bulanan berlipat karena harga bahan pokok melonjak. Tapi sial bagi milenial, terutama keluarga muda, tak ada corona pun gaji mereka bahkan sering habis di tengah bulan.

Rayuan Hypeburan

Kartu kredit
Ilustrasi milenial sudah merancang pos pos anggaran tapi tetap saja kerap jebol. (Pixabay/ jeshoot)

Kaum muda, baik generasi milenial (kelahiran 1980-1997) maupun generasi z (kelahiran 1998-2010), sesungguhnya sadar akan alokasi gaji. Mereka telah merancang pos anggaran untuk masing-masing kebutuhan. Bahkan, sudah ada alokasi khusus untuk tabungan jangka panjang.

Nathasya Angeline, Divisi Operasional di Bank swasta terkemuka mengaku secara ketat merancang pos-pos anggaran tiap bulan agar keuangan selalu sehat. Perempuan berusia 22 tahun itu biasa membagi alokasi hari kerja untuk kebutuhan operasional, seperti transportasi, makan, pakaian, skincare, lalu anggaran akhir pekan untuk kebutuhan hiburan, alokasi untuk orang tua, dan tabungan.

"Tabungan tiap bulan sifatnya wajib enggak boleh diutak-atik," kata Natasha tegas. Di tengah mobilitas pekerjaan tinggi sebagai seorang karyawan bank, akhir pekan jadi surga kecil untuk pelepasan suntuk setelah saban hari bekerja. "Cuma gitu suka overbudget. Lupa diri. Jadi mau enggak mau ambil uang dari pos anggaran lainnya," tambah Nathasya.

Dalam lima tahun terakhir pola konsumsi anak muda, baik milenial maupun generasi z berubah. Dari yang awalnya mencari barang pokok tahan lama (goods-based consumption) menjadi konsumsi berbasis pengalaman (experience-based consumption). Contohnya travelling, kuliner yang sedang hype, ngopi di tempat kekinian, skin cara yang lagi viral, nonton konser band idola dan lainnya.

Perubahan itu diperkuat data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi hiburan selama rentang 2015-2017 naik sebesar 30,96 persen. Sementara belanja makanan pokok mengalami penurun sebesar 2,9 persen.

Dari besaran konsumsi itu, milenial menjadi konsumen dominan di angka 46 persen dengan belanja hal-hal bersifat gaya hidup dan experience based. Namun, kaum muda, menurut Yuswohady, Managing Partner Inventure, juga perlu berhati-hati terhadap jebakan leisure. "Sifat konsumsi leisure itu memiliki godaan tinggi sekali sehingga tidak ada matinya," kata penulis buku Millenials Kill Everything itu.

Akibatnya, lanjut Yuswohady, banyak generasi milenial terjebak dalam sistem ekonomi leisure. Mereka terus-menerus menggelontorkan uang dengan nominal besar demi mendapatkan pengalaman berbeda di tempat baru. Seberapa besar pun nominal harus keluar dari gajinya, enggak akan jadi masalah besar untuk pemenuhan kebutuhan akan hiburan.

Pernyataan Yuswohady itu terkonfirmasi dari hasil survei Ameritrade pada 2019 yang dilansir dari CNBC. Berdasar survei tersebut, milenial kerap memprioritaskan gaya hidup seperti travelling dan liburan dalam kehidupan mereka. Tren makan di luar dan nongkrong sambil ngopi masuk ke peringkat berikutnya untuk pengeluaran tertinggi milenial.

Menurut Ameritrade, rata-rata, mereka menghabiskan USD 838 atau setara Rp 11 juta per bulan untuk biaya leasure.

Padahal, pengeluaran ini juga berdampak ke jumlah utang kartu kredit dan tabungan pensiun. Alasan utama yang mendorong pengeluaran mereka pun adalah teman dan keluarga, lalu juga dipicu rasa bosan dan media sosial.

"Pengeluaran milenial tiga kali lebih luas dari generasi sebelumnya (generasi x dan baby boomers). Orang-orang tua mereka tidak memasukkan unsur liburan atau makan di luar dalam pengeluaran keseluruhan mereka," kata Manajer Senior TD Ameritrade Dara Luber sebagaimana dikutip dari CNBC Make it.

Geger Leisure

Traveling
Konsumsi leisure makin marak karena kelas menengah tumbuh pesat.(pixabay/Free photos)

Istilah leisure kali pertama dipopulerkan Linda Nazareth, Senior Fellow for Economics and Population Change pada The Macdonald-Laurier Institute. Dalam buku bertajuk The Leisure Economy: How Changing Demographics, Economics, and Generational Attitudes Will Reshape Our Lives and Our Industries (2007), Linda menggunakan istilah leisure economy untuk menggambarkan pergeseran pola konsumsi dari barang tahan lama (goods-based consumption) menjadi pengalaman (experience-based consumption).

Pertumbuhan kelas menengah, tulis Linda, saling berkait dengan pergeseran pola konsumsi serta berpengaruh pada perubahan arah ekonomi. Kelas menengah di Indonesia, menurut laporan Bank Dunia, dengan tajuk Aspiring Indonesia, Expanding The Middle Income Class, menjadi motor penggerak ekonomi dengan jumlah sebesar 52 juta jiwa.

Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan bahwa kelas menengah di Indonesia pada 2020 mencapai 85 juta jiwa.

Angka kelas menengah mulai merangkak naik sejak tahun 1993 sampai 2014 sekitar 80 persen karena masyarakat sudah tidak lagi masuk ke dalam kategori rentan miskin, atau dengan ukuran bila harga Bahan Bakar Minyak (BBM) melonjak tak berpengaruh signifikan.

Di Indonesia, menurut Yuswohady, konsumsi leisure makin marak karena kelas menengah tumbuh pesat. Konsumen kelas menengah (middle-class consumers), menurutnya, dapat digolongkan sebagai konsumen dengan pengeluaran harian berkisar antara USD 2-10 atau Rp 30-150 ribu.

Di kalangan milenial dan generasi z, lanjutnya, muncul tren gaya hidup minimalis dengan mengurangi kepemilikan (own) barang lalu menggantinya dengan kepemilikan bersama (sharing). Dengan begitu mereka memakai uang untuk konsumsi pengalaman. Misalnya traveling, menginap di hotel, menonton film, konser musik, dan nongkrong di kedai kopi. "Fenomena ini menjadikan konsumsi masyarakat dengan tujuan mendapatkan kesenangan dan pengalaman dapat terakomodasi sesuai keinginannya," kata penulis dari sekitar 40 buku mengenai pemasaran tersebut.

Meski begitu, peningkatan konsumsi terkait gaya hidup tidak menjamin kaum milenial dan generasi z hidup bahagia.

Kebebasan Berekspresi?

Ilustrasi
Ilustrasi (pixabay/pexels/9152)

Laporan World Happiness Report (WHR) 2019, menempatkan Indonesia di posisi 92 dari 156 negara. Indonesia jauh di bawah Singapura, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Peringkat itu memperlihatkan Indonesia dengan jumlah milenial terbanyak, tidak cukup bahagia meski konsumsi leisure terus meningkat.

Peringkat buruk itu gara-garanya Indonesia beroleh rapor merah di tiga aspek; Harapan Hidup Sehat, Kebebasan Menentukan Pilihan, dan Donasi. Di antara ketiga hal itu, kondisi paling buruk terjadi pada Kebebasan Menentukan Pilihan.

Ketidakpuasan milenial terhadap rancangan undang-undang dan regulasi pemerintah terlihat pada aksi #reformarsidikorupsi. Aksi mahasiswa, masyarakat dari berbagai elemen, hingga pelajar, menjadi alarm kalau negara tidak sedang baik-baik saja. Laporan Tahunan LBH Pers 2019 dan ulasan 2020 (Annual Report 2019 and Outlook 2020) bahkan menggarisbawahi tantangan terbesar kebebasan berekspresi datang dari regulasi.

Ketika kebebasan berekspresi dan menentukan pilihan dibatasi, milenial tak sungkan untuk melakukan aksi langsung meski harus berkorban nyawa. Lantas, apakah konsep bahagia bagi milenial berubah?

Bahagia Sesederhana Itu

Di masa kini, menurut Rena Masri, Psikolog Klinis, konsep bahagia terbagi dua; ingin 'merasa' atau 'terlihat' bahagia. Jika seorang ingin 'merasa' bahagia, lanjut Rena, ia akan melakukan hal-hal membuatnya bisa bersikap positif terutama terhadap diri mereka sendiri. Namun, bila ingin 'terlihat' bahagia, seseorang akan menampilkan dirinya agar orang lain bisa memandangnya sebagai individu berbahagia. "Hanya pura-pura demi dilihat bahagia oleh orang lain," kata Rena kepada merahputih.com.

Bisa saja seseorang menikmati hiburan dan rutin liburan, lanjut Rena, namun tidak merasa bahagia karena hal itu bukan menjadi sumber kebahagiaannya. Orang itu, sambungnya, hanya ingin terlihat mampu jalan-jalan, atau ingin terlihat bagus di sosial media karena melihat tren berlaku di masyarakat saat ini.

"Dengan begitu, meski konsumsi hiburannya meningkat belum tentu sebanding dengan meningkatnya kebahagiaan masyarakat," kata psikolog lulusan Universitas Atma Jaya.

Meski begitu, bahagia akan dipandang berbeda setiap orang, tergantung bagaimana orang itu memandang kebahagiaan dan bagaimana ia memiliki karakter kebahagiaan. Semua tergantung pada prioritas tiap orang. Masing-masing orang tentu beda prioritas kebahagiaan satu dengan lainnya. "Setiap orang harus eksplorasi diri dan mengetahui hal apa sih membuatnya bahagia," kata Rena.

Selain itu, penting sekali bagi tiap orang untuk mengetahui potensi diri dan mengerti hal-hal apa saja harus ditingkatkan supaya memiliki perencanaan untuk mencapai target berujung kepuasan dan kebahagiaan diri.

Jangka Panjang

Milenial bahagia
Ilustrasi milenial juga memikirkan investasi jangka panjang (https://pixabay.com/dai_nguyen)


Milenial sejatinya bukan tak memiliki rencana jangka panjang, namun alokasinya memang tidak begitu besar. Dari alokasi tabungan, rencana menikah, punya rumah, sampai investasi, anggaran selalu keluar lebih besar atau overbudget di konsumsi leisure.

Fauzan, 28 tahun, saban hari harus berangkat lebih pagi dari rumah orang tuanya di Duri Kosambi, Jakarta Barat, menuju kantornya di Radio Dalam, Jakarta Selatan, agar tidak terjebak macet. Tahun ini semangatnya masuk kantor berlipat setelah dikaruniai anak pertama. Satu jam di perjalanan ditempuh menggunakan sepeda motor bukan masalah besar baginya. Ia justru harus berpikir kerja agar seketat mungkin mengeluarkan uang.

"Kalo udah menikah kan gunakan uang udah enggak bisa seenaknya lagi. Mau gunakan buat ini-itu pasti selalu ingat anak dan istri," kata pekerja di bidang Media Monitoring tersebut.

Dengan gaji kisaran Rp 3-5 juta plus uang makan Rp 1 juta tiap bulan, ditambah gaji bulanan istrinya, menurut Fauzan sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, ia masih menyimpan rencana jangka panjang untuk punya rumah sendiri. "Sebenarnya rencana buat KPR sih ada. Cari di Jakarta atau Tangerang. Tapi mikir lagi," kata Fauzan.

Ia dan sang istri sesungguhnya sudah punya rumah di Cibinong, Bogor, namun lantaran masih sama-sama bekerja di ibukota maka harus menumpang di rumah orang tua.

Hunian terintegrasi memang jadi problem utama para milenial. Mereka, menurut Erlan Saputra Yudha, pendiri startup pengembang bangunin.id, menginginkan hunian terhubung dengan stasiun, mall, rumah sakit, tempat makan, dan tempat hiburan, nan sudah tentu harganya mahal.

Pengembang, lanjut Erlan, menjembatani keinginan milenial gan generasi z dengan membangun hunian di daerah satelit, dengan harga tanah tak terlalu mahal tapi tetap mudah akses transportasi. "Selain itu, untuk meminimalkan harga, pengembang akan membangun rumah dengan ukuran 22 m2- 70 m2, alias minimalis secara luasan," kata lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya (ITS) tersebut.

Selain itu, lanjutnya, banyak pengembangan kemudian menggandeng pihak bank agar milenial mudah memproses kredit rumah dengan bunga rendah bahkan membuat skema program cicilan Down Payment (DP). Hunian untuk milenial pun dibuat tepat guna, dalam arti semua ruang memiliki fungsi bukan artifisial semata. Rancang bangunan juga dibuat sesuai karakter milenial nan dinamis.

Konsumen Dominan

Tak dapat dipungkiri, kekuatan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia dipacu orang muda. Dibanding generasi lain, milenial tercatat menjadi jumlah terbesar pada survei BPS 2018 dengan 33,75 persen. Lalu generasi z sebanyak 29, 23 persen. Kedua generasi itu bahkan menjadi konsumen dominan di Indonesia rata-rata mencapai 46 persen, dengan belanja bersifat gaya hidup.

Fenomena itu, menurut Yuswohady, secara tegas menandai semakin potensialnya sektor leisure sebagai mesin baru ekonomi. Dari situ lahir destinasi wisata baru, merebaknya tempat penginapan dengan berbagai konsep, sampai kafe, warung, restoran, dan tempat kopi baru hingga pelosok. Tempat-tempat itu selalu banjir anak muda di akhir pekan.

Autokoffie, kedai kopi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, ikut merasakan efek peningkatan leisure. Milenial, menurut Noor Prasetio, Manajer Autokoffie, menjadi konsumen terbesar menyumbang angka penjualan harian sekitar 60-70 persen dari total keseluruhan pengunjung. Raihan angka itu didapat juga karena dilakukan strategi khusus. “Konsep branding, harga menarik, tempat nyaman, sampai promosi menarik,” kata pria kondang disapa Cio.

Ibnu Khair, salah satu pelanggan mengaku senang berkunjung karena suasana asyik dan harga relatif terjangkau. “Enak banget buat nongkrong dan ngobrol. Wifi-nya kencang dan live musicnya keren," kata Ibnu. Selain menilai pengalaman, pengunjung milenial juga mempertimbangkan harga rasional, bukan murah atau mahal, tapi worth it atau tidak.

Hal senada juga dikatakan salah satu owner Lawless Jakarta Sammy Bramantyo. Menurut Sammy, mempertimbangkan harga jual juga jadi salah satu kunci penting Lawless Jakarta.

Usaha Clothing Line, Studio Tatto, Motor Custom, dan Burger Bar itu, kata Sammy, memang sengaja memasang harga terjangkau dengan kualitas terbaik. "Setelah memesan dan tahu kualitas bahan-bahan dan porsinya, mereka (konsumen) akan merasa itu worth it," kata bassist Seringai itu.

Segala strategi Lawless Jakarta, lanjut Sammy, memang membidik milenial lantaran pasar itu paling sefrekuensi, bukan karena tren kenaikan leisure. Mereka mengemas produk sesuai image dan gaya hidup milenial dan hingga kini konsumen terbesar Lawless berkisar di rentang umur 20-35 tahun.

Sebelum mengeluarkan produk, tim Lawless melakukan riset ringan seperti bertanya kepada teman, sampai riset berat dengan kuesioner. Hal itu menurut Sammy terjadi ketika mereka akan membuka cabang Lawless Burgerbar Menteng. Mereka mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang saya beli, kisaran umur, dan tren restoran seperti apa paling banyak dikunjungi. "Hasilnya sangat memuaskan, dan kami selalu belajar untuk bisa mendapatkan hasil lebih baik lagi dari hari ke hari," kata Sammy.

Maunya Apa Sih!

Konser
Ilustrasi. (Pixabay)

Arti bahagia bagi milenial, menurut Sammy, memang sangat kompleks. Ia menangkap fenomena merosotnya kebahagiaan milenial datang dari sikap skeptis dan tekanan sosial. Mereka skeptis terhadap pemerintah, karir, dan terberat social pressure dari sosial media nan membuat seseorang harus berkompetisi dengan teman atau orang lain di Instagram, juga harus keep up dengan standar bahagia dan sukses orang-orang tersebut.

Di sisi lain, dari pengalaman mengelola Lawless dan Duck Down Bar, Sammy melihat milenial sangat menginginkan suatu hal beda, unik, dan bersifat ekstrem.

Pengalaman ekstrem itu bisa ditemui ketika berkunjung ke Lawless Burgerbar dengan interior serbahitam, musik rock dan heavy metal diputar tanpa henti, dan poster-poster band dengan muka-muka monster, dan Duck Down Bar penuh dengan coretan tangan pengunjung, flyers dan poster ditempel rapat di dinding, dan akun Instagram mengunggah perilaku aneh pengunjung. "Dengan begitu tempat kami menjadi Instagrammable sebagai kriteria tempat kini wajib," kata Sammy.

Sosial media memang memainkan peran besar terhadap milenial ketika hendak memutuskan sesuatu. Milenial, seturut laporan Delloite Indonesia, akan selalu melihat informasi di internet dan sosial media sebelum memutuskan sesuatu. Pandangan atau pendapat orang lain di sosial media sangat menentukan bagi mereka sebelum membeli barang sampai hal-hal serius di dalam kehidupan.

Namun, lagi-lagi hal itu akan menjadikan seseorang hanya merasa 'ingin' bahagia. Kebahagiaan itu, menurut Psikolog Rena Masri, terdiri dari rasa penerimaan akan diri sendiri, kasih sayang diterima, dan pencapaian diri. Apabila ketiga hal itu bisa diraih maka pada umumnya seseorang akan merasa bahagia.(adp/avi/lgi/lio/nic/ryn/shn/yud/kuh)

Milenial
Ilustrasi. (Fikri/MerahPutih.com)

#Hypeburan
Bagikan
Bagikan