Membudayakan Masyarakat Indonesia yang Sadar Bencana

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Kamis, 26 April 2018
Membudayakan Masyarakat Indonesia yang Sadar Bencana
Petugas BNPB menggelar simulasi penanganan bencana alam dan evakuasi keselamatan gedung di halaman gedung BNPB, Jakarta, Selasa (24/4). (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Merahputih.com - Indonesia berada di wilayah yang rawan bencana. Mulai dari gempa bumi, tanah longsor, banjir, angin puting beliung hingga kebakaran hutan dan lahan.

Meski begitu, masyarakat Indonesia dinilai masih belum memiliki kemampuan untuk memitigasi dan menyelamatkan diri. Karena itu, membangun budaya sadar bencana menjadi satu hal yang penting.

Untuk mewujudkan budaya sadar bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak 2017 memelopori Hari Kesiapsiagaan Bencana yang akan diperingati setiap 26 April.

Hari Kesiapsiagaan Nasional dimulai sejak 2017, tepat 10 tahun sejak pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 20017 tentang Penanggulangan Bencana pada 26 April 2007.

Kepala BNPB Willem Rampangilei mengatakan penanggulangan bencana memerlukan kolaborasi dan kemitraan yang kuat antara pemerintah dengan masyarakat.

"Hari Kesiapsiagaan Bencana merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kolaborasi dan kemitraan itu. Penanggulangan bencana adalah urusan bencana. Tidak bisa hanya pemerintah," kata Willem di Jakarta, Kamis (26/4).

Simulasi penanganan bencana meningkatkan keterampilan dan pemahaman masyarakat dalam situasi darurat bencana, sekaligus dalam rangka spel hari kesiagaan bencana (HKB) 2018. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Willem mengatakan Hari Kesiapsiagaan Bencana memiliki arti penting untuk menciptakan budaya sadar bencana. Bila tidak ada kesadaran terhadap bencana, maka korban akan lebih sulit untuk diselamatkan.

Bila budaya sadar bencana sudah terbentuk, setiap orang paham ancaman bencana di wilayahnya masing-masing. Selain memahami ancaman bencana, mereka juga paham tentang sistem peringatan bencana dan bagaimana menanggapi sistem peringatan itu.

Karena itu, pelatihan menghadapi bencana harus sering dilakukan. Apalagi, Indonesia berada di wilayah yang rawan bencana.

"Pelatihan menghadapi bencana harus terus menerus dilakukan, tidak hanya saat Hari Kesiapsiagaan Bencana. Jutaan orang Indonesia tinggal di daerah yang rawan bencana," tuturnya.

Dikutip Antara, Hari Kesiapsiagaan Bencana 2018 diikuti lebih dari 30 juta orang di seluruh Indonesia dengan mengikuti latihan simulasi menghadapi bencana.

Petugas Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) dan BNPB mengevakuasi warga korban bencana banjir saat simulasi penanganan bencana alam di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (12/4). (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Tahun sebelumnya, hanya ada lebih dari 10 juta orang yang berpartisipasi dalam Hari Kesiapsiagaan Bencana. Menurut Willem, partisipasi yang bertambah itu menunjukkan kesadaran masyarakat akan ancaman bencana semakin meningkat.

Willem mengatakan keikutsertaan banyak orang dalam Hari Kesiapsiagaan Bencana tidak lepas dari dukungan banyak pihak, baik kementerian/lembaga, TNI/Polri hingga organisasi pegiat kemanusiaan.

Kementerian Dalam Negeri dan Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, menerbitkan surat instruksi agar diadakan pelatihan simulasi menghadapi bencana di kantor-kantor jajaran yang ada di bawahnya.

Menurut survei yang dilakukan Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, 86 persen masyarakat Indonesia tidak pernah melakukan latihan menghadapi bencana dalam lima tahun terakhir.

Jangan Panik

Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaja mengatakan kunci dalam penyelamatan adalah tidak panik dan korban tidak berlarian ke sana kemari.

Menurut Wisnu, masyarakat yang terdampak bencana harus berupaya menyelamatkan diri pada periode emas, yaitu 72 jam sejak bencana terjadi.

"Itu adalah standar internasional. Dalam periode itu, masyarakat terdampak bencana harus berupaya menyelamatkan diri sendiri sebelum bantuan datang," katanya.

Wisnu kemudian mengutip sebuah kajian yang dilakukan di Jepang. Saat gempa bumi besar Hanshin-Awaji di Prefektur Hyogo pada 1995, disebutkan 35 persen masyarakat berhasil selamat pada periode emas karena kesiapsiagaan diri sendiri Kemudian, sebanyak 31,9 persen masyarakat berhasil selamat karena dukungan anggota keluarganya, 28,1 persen diselamatkan oleh teman dan tetangga di sekitarnya, 2,6 persen ditolong orang lewat, 1,7 persen dibantu tim penolong dan lain-lain sebanyak 0,9 persen."Itu artinya, 95 persen korban bisa selamat karena memiliki kemampuan menyelamatkan diri sendiri serta bantuan masyarakat di sekitarnya. Karena itu, kemampuan diri dan masyarakat dalam penyelamatan bencana harus diperkuat," tuturnya.

Karena itu, pada Hari Kesiapsiagaan Bencana BNPB mengajak seluruh lapisan masyarakat dan komunitas untuk mengenali ancaman bencana di wilayahnya masing-masing dan memikirkan upaya penyelamatan diri.

"Yang utama adalah memahami cara-cara menyelamatkan diri dan sering berlatih sehingga menjadi budaya. Di Jepang, hal itu sudah membudaya karena dilatih sejak dini," katanya.

Seluruh lapisan masyarakat dan komunitas diminta untuk mengenali ancaman bencana di wilayahnya masing-masing dan memikirkan upaya penyelamatan diri dari bencana pada Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional yang diperingati pada 26 April.


Petugas LPBI NU dan BNPB mengevakuasi warga korban bencana banjir saat simulasi penanganan bencana alam di Kudus, Jawa Tengah, Kamis (12/4). Kegiatan simulasi yang didukung pemerintah Australia melalui Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) tersebut bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan dan pemahaman masyarakat dalam situasi darurat bencana. (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

"Karena bencana dan dampaknya seringkali berawal dari hal sederhana, yaitu kecerobohan, ketidakpedulian, dan lain-lain," katanya.

Dicontohkannya, ketika muncul api di rumah atau lingkungan sekitar. Di tempat tersebut sudah ada alat pemadam api ringan, tetapi orang-orang di sekitar api tersebut tidak bisa menggunakannya.

Atau saat terjadi gempa, meskipun goncangannya tidak besar, masyarakat panik. Karena sangat panik, bahkan ada orang yang sampai melompat dari lantai dua rumah atau gedung.

Padahal, standar internasional dalam menghadapi gempa, adalah menjatuhkan diri atau drop, melindungi diri atau cover, dan berpegangan hold. Standar itu sudah dipraktikkan di Jepang, bahkan dipahami hingga anak-anak kecil.

"Yang utama adalah memahami cara-cara menyelamatkan diri dan sering berlatih sehingga menjadi budaya. Di Jepang, hal itu sudah membudaya karena dilatih sejak dini," tuturnya. (*)

#BNPB #Bencana Alam
Bagikan
Bagikan