MEMILIKI cabang adalah salah satu cara yang dipakai pebisnis untuk memperluas usaha mereka. Cabang bisnis juga berpotensi untuk meraih pelanggan baru dan semakin memperkenalkan jenama tersebut ke mata publik. Ada dua sistem umum yang biasanya digunakan untuk mengatur cabang, yaitu fully owned dan franchise.
Fully owned atau yang kadang disebut sebagai company owned adalah sistem satu bisnis pusat mengepalai seluruh cabang sekaligus. Jadi proses produksi, distribusi, penjualan, dan pemasaran di seluruh gerai diatur oleh satu kepala saja. Sedangkan sistem franchise adalah kebalikannya. Suatu jenama membiarkan pihak lain ‘membeli’ nama mereka dan membuka gerai sendiri. Nantinya tiap gerai akan punya kepala yang berbeda.
Baca Juga:
Nah, salah satu jenama lokal yang menganut sistem fully owned adalah Kopi Kenangan. Brand kopi kekinian ini sekarang memiliki kurang lebih 850 cabang yang tersebar di Indonesia serta mancanegara. Ratusan gerai itu menariknya dikelola oleh satu kepala pusat yang sama.

Hal ini disampaikan secara langsung oleh CEO dan Co-Founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata dalam sesi talkshow Ideafest hari keempat bertajuk Cupping The Real Taste of Growth, Minggu (27/11). "Kita fully owned (850 gerai) ini, kita tidak ada franchise," ungkap Edward.
Edward menyampaikan bahwa sebenarnya tiap sistem punya sisi positif dan negatifnya sendiri. Salah satu sisi positifnya adalah sistem franchise bisa memudahkan perjalanan dan perkembangan dari sebuah bisnis. Pebisnis bisa memiliki 100, 200, 300 atau bahkan 1.000 toko sekaligus tanpa butuh waktu yang lama.
Baca Juga:
Rayakan Hari Jadi ke-5, Kopi Kenangan Resmikan Pusat Pelatihan Kedua
Terlepas dari sisi positifnya, franchise punya sederet sisi negatif pula menurut Edward. Yang pertama adalah dari segi omzet yang lebih sedikit. Ia mengambil contoh dari gerainya sendiri. Ia mengandaikan satu toko Kopi Kenangan bisa menghasilkan keuntungan sekitar 20 persen. Nah karena sistem yang digunakan adalah fully owned, maka keuntungan tadi akan jadi omzet 100 persen bagi Kenangan Brands. Sedangkan di sistem franchise, omzet yang dapat diraih hanyalah sekitar 5 dari 20 persen per gerainya.

Sisi negatif yang kedua adalah sulitnya mengatur seluruh cabang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, toko franchise memiliki kepalanya masing-masing. Dengan pemimpin sebanyak itu, akan sulit bagi Kenangan Brands untuk menjaga kualitasnya. Sebab, tiap gerai bisa jadi punya standard operating procedure (SOP) yang berbeda. Jika ada kinerja pegawai yang jelek, nama dan reputasi brand secara keseluruhan akan ikut turun juga.
"Apabila lagi jelek, kita sebagai owner brand tersebut pasti akan melakukan sesuatu. Misalnya dengan cut off. Tapi kalau itu franchise, kita gak bisa melakukannya karena bukan kita yang punya toko," jelas Edward tentang alasan mengapa akhirnya Kopi Kenangan bertahan dengan sistem fully owned. (mcl)
Baca Juga: