‘ANAK Sastra’ biasa digambarkan sebagai sosok yang nyeni dan nyentrik abis. Selain karya-karyanya yang terdengar bak karya pujangga termasyhur negeri ini, tak dapat dipungkiri bahwa kamu bisa melihat seseorang terlahir sebagai seniman sastra hanya dari pandangan pertama.
Sastra merupakan hasil pikiran dan buah imajinasi seseorang yang dikemas secara estetis sehingga dapat menghasilkan karya yang indah. Sejak zaman dahulu kala Indonesia memiliki sastrawan yang hasil karyanya sampai saat ini mampu membuat generasi muda jatuh hati.
Baca Juga:

Dari laman indonesiana dan matabuana, karya sastra selama beberapa dekade yang lalu bisa dinikmati melalui buku novel atau puisi-puisi singkat mengenai cinta atau keadaan politik sebuah negara. Seiring dengan berjalannya waktu, karya sastra juga bisa dirangkai dalam bentuk lagu, film, puisi singkat, atau quotes-quotes ala generasi milenial yang tak kalah ciamik.
Memang benar sebuah karya sastra tidak boleh terlalu kaku. Kemudian harus terus menerus mempertahankan aturan-aturan baku yang berlaku sejak dulu. Eksistensi karya sastra hanya bisa dipertahankan jika mau mengikuti perkembangan zaman.
Saat ini seperti yang telah kita ketahui, proses membaca tidak hanya bisa dilakukan melalui buku fisik saja. Kamu juga bisa membeli buku secara daring. Generasi milenial sangat memanfaatkan kesempatan ini untuk melestarikan karya sastra melalui platform digital seperti media sosial.
Apalagi anak zaman sekarang sangat menyukai konsep serba praktis yang ditawarkan oleh media sosial. Masyarakat tentunya tidak bisa menyangkal bahwa menikmati karya sastra melalui buku bukan pilihan anak muda yang sebagian besar di antaranya menganut hustle culture.
Artinya mereka terlalu sibuk untuk menyempatkan diri membeli buku sastra dan membacanya secara perlahan. Mulai dari generasi milenial ke bawah lebih memilih membaca karya sastra melalui platform digital seperti Wattpad, Webtoon dan media sosial mainstream lainnya karena dinilai lebih praktis serta efisien.
Kamu pasti pernah melihat animasi cerita pendek atau quotes puitis di media sosial mainstream bukan? Meskipun mendapatkan banyak komentar kontra karena dianggap tidak profesional dalam menghasilkan karya. Namun tak dapat dipungkiri bahwa mengikuti keinginan pasar adalah satu-satunya cara bertahan hidup bagi kesusastraan sebuah negara.
Para pegiat sastra siber juga pastinya akan setuju bahwa menghasilkan karya sastra secara online sah-sah saja untuk dilakukan selama menggunakan tutur kata yang baik dan mengikuti kaidah yang berlaku. Bahkan cara ini juga dianggap mampu menyelamatkan kesusastraan sebuah negara agar generasi muda tidak melupakan kekayaan sastra dari bangsanya sendiri.
Jika terlalu kaku dan mengikuti jejak konvensional, lambat laun anak muda akan meninggalkan karya sastra. Karena cara karya tersebut diterbitkan tidak bisa mengikuti arus hidup masyarakat modern yang harus serba cepat.
Baca Juga:

Lalu, apakah mengikuti perkembangan teknologi seutuhnya menjadi satu-satunya jalan untuk melestarikan karya sastra? Tentu saja tidak.
Mengikuti perkembangan teknologi dengan mengubah cara publikasi dari konvensional menuju digital tentunya dapat mempertahankan eksistensi karya sastra karena mampu menjaring target yang lebih luas. Tetapi para sastra siber juga tidak boleh melupakan generasi X ke atas yang lebih memilih membaca karya sastra melalui buku. Selain itu karya sastra dengan bentuk fisik seperti buku masih diincar oleh para kolektor buku.
Selain mempertahankan eksistensi karya sastra di dunia modern, mengikuti perkembangan teknologi dengan menggunakan platform digital sebagai wadah utama dapat mengubah perspektif anak muda terhadap karya sastra yang dianggap mengandung kata-kata berlebihan dan ketinggalan zaman.
Sastra merupakan seni mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan serta imajinasi seseorang yang dituang ke dalam sebuah karya. Tentu saja cara penulisan karya sastra modern harus bisa mengikuti karakteristik anak muda agar mereka tergugah untuk membaca atau bahkan turut andil menjadi sastra siber sebagai pegiat pelestarian karya sastra.
Rumus pertama dalam melestarikan karya sastra di zaman modern adalah mau menggunakan platform digital sebagai wadah publikasi. Kemudian rumus kedua adalah mengikuti keinginan pasar terutama anak muda. Karya sastra klasik yang dihasilkan oleh para sastrawan Indonesia memang akan selalu dikenang.
Sebaiknya demi mempertahankan kesusastraan Indonesia, pegiat sastra siber harus mulai menulis karya sastra yang identik dengan anak muda masa kini. Artinya karya sastra yang dihasilkan harus berhubungan erat dengan kehidupan anak muda. Misalnya menulis novel cinta sesuai dengan percintaan anak zaman sekarang atau puisi-puisi ringan yang menyentil dunia kerja modern yang terkenal serba cepat dan sigap. Jika kedua rumus tersebut digunakan seorang sastra siber, dijamin karya sastra tidak akan punah dan anak muda akan lebih menghargai sebuah karya sastra sebagaimana mestinya.
Seperti yang disimpulkan oleh beberapa sumber, sastrawan masa kini seperti Tere Liye, Fiersa Besari, Boy Candra, atau Dewi Lestari mampu menarik target pasar secara luas, karena hasil karyanya yang dekat dengan kehidupan modern. Meskipun sebagian karya bersifat fiksi, namun tutur kata yang digunakan sesuai dengan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh anak muda. Demi melestarikan kesusastraan Indonesia, pegiat sastra siber memang harus pintar melihat peluang dan mengawasi perkembangan pasar terutama apa yang paling diinginkan kalangan muda. (Mar)
Baca Juga: