Fashion

Medium Rare dan Sneaker Pimps Bangkitkan Gairah Streetwear Negeri Aing

annehsannehs - Rabu, 30 Juni 2021
Medium Rare dan Sneaker Pimps Bangkitkan Gairah Streetwear Negeri Aing
The Waves- Episode 2. (Foto Vision+)

MENGGABUNGKAN para graffiti artist, anak-anak Tembok Bomber, dan Footurama, akhirnya terselenggarakan sebuah ekshibisi sneakers berskala besar pertama bernama Medium Rare. Acara yang diselenggarakan pada Agustus 2005 di Museum Nasional (Museum Gadjah) ini pun berhasil mendapatkan feedback yang luar biasa.

Dalam acara Medium Rare, mereka menggabungkan ekshibisi berkaitan dengan sneakers, streetwear, musik, lifestyle, dan graffiti yang peminatnya pun diperkirakan masih belum banyak saat itu.

The Waves- Episode 2. (Foto Vision+)
The Waves Episode 2. (Foto: Vision+)

Dengan tempat yang cukup kecil, Founder Garduhouse, Ones, mengaku tidak menyangka bahwa acara tersebut bisa sukses dan disambut dengan sangat baik tidak hanya oleh para remaja, tetapi juga para keluarga muda.

“Jujur aja gue enggak nyangka sih serame itu. Enggak nyangka sama sekali. Ekspektasi gue 500 orang yang dateng 4 ribuan. Ya pokoknya di acara itu gue ngeliat itu ada keluarga muda sampai bawa anak-anaknya, ada juga yang pasang-pasangan, orang-orang pacaran. Maksudnya gue lihat mereka bukan pelaku graffiti tetapi dia tertarik sama graffiti,” ungkap Ones pada dokumenter The Waves yang tayang di Vision Plus.

Medium Rare 2005. (Foto Vision+)
Medium Rare 2005. (Foto: Vision+)

Acara tersebut menjadi tonggak sejarah bagi tumbuh kembangnya komunitas pencinta streetstyle di Jakarta di awal era 2000-an. Meskipun ketertarikan terhadap streetstyle pun sudah lahir sejak era 80-an.

Founder Footurama/Studio 1212, butik dan consignment shop streetwear, Max Suriaganda, mengatakan kecintaan terhadap streetstyle ini dimulai pada popularitas olahraga ekstrem skate pada era 80-an akhir dan olahraga basket pada era 90-an.

Kehadiran genre musik yang beraneka ragam pun tidak hanya menjadi alunan nada yang asyik untuk didengar kala itu, tetapi juga ikut serta membentuk gaya hidup yang mengiringi streetstyle ini. Bagi Founder Whatnot/Pleasure Aryadi Jaya sendiri, ketertarikan dirinya terhadap sneakers dipengaruhi oleh hobinya bermain olahraga ekstrim rollerblade.

“Gue into banget sama sneakers, into banget sama scene musik, into banget sama extreme games-lah ada skate, bmx, rollerblade,” ungkap Aryadi.

Dan itu semua, kalau misalnya lo suka itu semua, dan kalo lo enggak bisa pakai baju yang represent atau yang ngomonginnya bahwa ‘lo suka ama itu semua’, i mean itu enggak afdol aja buat gue gitu. Dan itu semua yang nyambung akhirnya ya si brand-brand sekarang yang disebut streetwear,” jelasnya.

Berawal dari mengidolakan para atlet basket NBA, olahraga ekstrem, dan musik, seluruh hobi-hobi ini pun nyambung dan membentuk gaya hidup yang disebut sebagai streetstyle. Kala itu, pencinta busana streetstyle pun tidak memiliki banyak informasi seputar hobi mereka.

Jika saat ini kita bisa mendapatkan barang streetwear dengan mudah, Max bercerita bahwa ia harus hunting barang-barang ajaib dan aneh di black market, salah satunya adalah Taman Puring. “waktu itu di Taman Puring hampir tidak ada barang palsu, jadi barang asli semua,” ungkap Max.

Taman Puring. (Foto Kabarsidia)
Taman Puring. (Foto: Kabarsidia)

Jangankan mendapatkan barang-barang streetwear, mereka pun kesulitan untuk mendapatkan berita seputar streetwear pada era 90-an. Kala itu, media-media yang membahas hal tersebut biasanya berasal dari Jepang dan menggunakan bahasa Jepang.

Fenomena ini pun dilihat sebagai kesempatan oleh Max. Akhirnya ia membuat forum Footurama, untuk mempertemukan para pencinta streetwear. Dari circle pertemanan yang sama, Max pun akhirnya bertemu dengan Arya. Begitu juga dengan Ones, Darbot, dan teman-teman lainnya untuk menyelenggarakan sebuah acara pertemuan pencinta sneaker pertama yaitu Medium Rare.

Keberhasilan Medium Rare pun membuka jalan bagi acara-acara lainnya seperti Swapmeet yang diselenggarakan sepenuhnya oleh Footurama. Selain untuk pertemuan antar komunitas, Swapmeet juga menjadi lapak untuk menjual dan membeli merchandise masing-masing. Ones juga menambahkan bahwa acara Swapmeet ini mendorong para pelaku graffiti untuk membuat merchandise.

Bertahun-tahun setelah diselenggarakannya Medium Rare, ada sebuah acara di luar negeri bernama Sneaker Pimps yang diselenggarakan secara pindah-pindah dari kota ke kota. "Mereka bawa sneakers-nya dan artist-artist-nya. Terus gue tanya aja lewat Facebook, 'lo mau enggak ke Indonesia', mau, yaudah, bikin," ungkap Aryadi.

Acara ini tentunya menjadi salah satu ekshibisi yang paling bersejarah bagi event sneaker di Indonesia. Ekshibisi ini tidak hanya memperkenalkan budaya sneaker, tetapi juga mengandung budaya street art yang kental. Acara yang diselenggarakan selama dua hari pada 8-9 April 2006 itu juga dimeriahkan oleh Futura 2000, Ewok, sampai Mr. Sabotage. Dalam acara ini para seniman jalanan juga diberikan kesempatan untuk berkreasi lewat mendesain sepatu.

Sneaker Pimps Jakarta. (Foto Hypebeast)
Sneaker Pimps Jakarta. (Foto: Hypebeast)

"Sneaker Pimps itu touring itu ke Amerika, ini, ini, tapi waktu itu termasuk paling gede di Indonesia," ungkap Aryadi. Terdapat skate park di dalamnya, metro mini yang telah dihiasi oleh graffiti, dan ada sangat banyak sneakers yang dipamerkan.

Ones pun mengakui bahwa seluruh acara yang mereka buat ini merupakan buah karya dari pembahasan ketika nongkrong bareng. "Gue banyak belajar lah, ibaratnya, oke, yang gue lihat ibaratnya di WhatNot itu hanya segelintir orangnya, tapi bisa bikin acara besar gitu akhirnya gue coba belajar dari situ," ungkapnya.

Ia mulai mengaplikasikan budaya "nongkrong yang menghasilkan karya". "Tempat nongkrong itu selalu jadi yang ngerekam di mana pergerakan itu dimulai. Dan itu juga tempat di mana pemikiran dan ide-ide juga muncul, bukan hanya sneakers".(shn)

#Fashion #Juni Made In Negeri Aing
Bagikan
Ditulis Oleh

annehs

Bagikan