Martha Christina Tiahahu Srikandi Nusa Laut

Ana AmaliaAna Amalia - Senin, 18 April 2016
Martha Christina Tiahahu Srikandi Nusa Laut
Martha Christina Tiahahu/Foto:Istimewa

MerahPutih Nasional - Salah satu perempuan yang berani melakukan perlawanan dan menolak bantuan dari penjajah Belanda adalah Martha Christina Tiahahu. Ditengah penuhnya peran dominasi kaum pria di tanah Maluku yang melakukan perlawanan terhadap penjajah, Martha Christina Tiahahu seakan membawa pembaharuan, ia menjadi pelakon perempuan yang dengan tegas dan konsisten melawan ketertindasan dengan satu kata: perlawanan.

Martha Christina Tiahahu, lahir 4 Januari 1800, di suatu desa bernama Abubu yang terletak di Pulau Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah.

Sejak kecil, Martha Christina Tiahahu terkenal sebagai anak pemberani dan memiliki kemauan keras. Martha dibesarkan dan diasuh oleh ayahnya, Paulus Tiahahu, Raja Abubu karena ibunya meninggal saat Martha masih belia.

Pengaruh didikan ayahn membangun karakter kuat pada diri Martha Christina untuk kelak melakukan perjuangan melawan Belanda di kemudian hari.

Saat Kapitan Paulus Tiahahu dipercaya sebagai Raja Abubu di Nusalaut, Belanda datang dan mendirikan benteng Beverwijk di Leinatu, Nusalaut.

Pulau Nusalaut juga disebut Nusahalowano yang berarti ”Pulau Emas”. Diberi julukan tersebut sebab Pulau tersebut kaya dengan hasil cengkeh dan terkenal bermutu tinggi sehingga masyarakat banyak yang mendapatkan keuntungan karena hal tersebut. Kumandang "Polawan repu, pisi repu" yang berarti cengkeh banyak, maka uang pun banyak terdengar hampir di seluruh penjuru Pulau Nusalaut

Namun setelah cengkih dimonopoli Belanda, rakyat Nusalaut pun jatuh melarat dan banyak yang hidupnya jatuh miskin. Seluruh hasil cengkeh rakyat Nusalaut pun dikuasai Belanda. guna mengawasi sitem Monopoli tersebut Belanda mengadakan patroli pengawasan yang ketat terhadap perdagangan cengkeh maupun rempah-rempah. Mereka membuat sistem pengawasan yang bernama pelayaran hongi. dengan kapal yang berbentuk seperti kura-kura. Kapal berisi pasukan Belanda tersebut bertugas menjaga agar tidak ada pedagang lain membeli hasil bumi beroperasi di perairan maluku.Lewat pengawasan yang ketat ini maka setiap pedagang yang tidak mematuhi peraturan monopoli dari VOC akan dijatuhkan sanksi dengan menyita semua barang mereka, membunuh mereka, bahkan ada pula yang ditangkap dan dijual sebagai budak.

Pelayaran Hongi dan Ekstirpasi dapat dikatakan menyengsarakan rakyat Maluku saat itu. Hal tersebut menimbulkan kesumat untuk melakukan kezaliman Belanda di seantero Maluku.

Walaupun mulai muncul perlawanan fisik dan sporadis di Tanah Maluku namun belum ada pemimpin untuk menyatukan rakyat guna melakukan serangan secara serentak di Maluku. Hal itulah yang kemudian mendorong pertemuan antara seluruh elemen perlawanan dan tetua adat di Maluku untuk berkumpul yang di Saparua.

Paulus Tiahahau dalam kedudukannya sebagai Raja Abubu turut diundang ke pertemuan tersebut. Saat akan menghadiri rapat, sempat terjadi perdebatan yang cukup panjang antara Paulus Tiahahu dengan putrinya . Paulus ahirnya mengalah,ia mengajak puteri tercintanya berangkat menuju Saparua.

Ganasnya ombak di sepanjang pantai Nusalaut tidak menghalangi niatan Paulus dan puterinya menuju Saparua. Meskipun mereka datang terlambat, namun mereka masih sempat mengikuti pertemuan bersejarah tersebut.

Para tetua adat pun mulai menentukan kriteria guna menentukan siapa pemimpin perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda. Syarat selain memuat ketentuan pemimpin harus memiliki wibawa, juga mewajibkan kecakapan dalam pengetahuan serta memiliki kemampuan strategi perang.
Ketentuan dari para tetua adat tersebut mmembuat para peserta rapat yang turut disaksikan rakyat sejenak terdiam.

Hingga munculah seorang laki-laki berumur 34 tahun bernamaThomas Matullesy maju ke depan. Ia mengacungkan pedang terhunus dan sambil menengadah ke langit ia berkaia setengah berteriak, ”Saya sanggup memimpin perlawanan!”.

Semua yang hadir dalam pertemuan itu pada ahirnya setuju dan melantik Thomas Matulessy dengan nama Kapitan Pattimura sebagai pemimpin perlawanan.

Para raja dan tetua adat pun bersumpah untuk setia membantu kepemimpinan Thomas melakukan perlawanan terhadap Belanda. Martha Christina yang mendampimgi ayahnya, Paulus Tiahahu bersama-sama dengan rakyat banyak yang hadir di hutan Saniri mengucapkan sumpah setia yang berbunyi; Tidak akan ada pengkhianatan terhadap perjuangan. Siapa yang menyeleweng, akan dihukum mati di tiang gantungan.

Selanjutnya Kapitan Pattimura kemudian Menunjuk Paulus Tiahahu,serta Raja Titawaoi bernama Hehanusa sebagai pemimpin rakyat wilayah Nusa Laut dan menugaskan mereka untuk segera merebut Benteng Beverwijk yang berada di Sila Leinitu.

Paulus pun mengiyakan tugas yang di berikan oleh Pattimura, namun ia mengajukan satu permohonan agar Martha Christina ikut mendampingi nya dalam medan pertempuran. Pattimura pun kemudian mengizinkan Martha Christina untuk mendampingi ayahnya berjuang.

Sejak itulah, di tahun 1817 saat Martha ber di usianya yang masih 17 tahun , Martha mulai ikut bergabung dalam gerakan perlawanan Pattimura. (man)

BACA JUGA:

  1. Tembi Rumah Budaya akan Hadirkan Sastra Bulan Purnama ke-54
  2. Budaya Hidup, Keunggulan Tembi Rumah Budaya Yogyakarta
  3. Wisata Heritage di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta
  4. Gudeg Kaleng, Oleh-Oleh Khas Yogyakarta
  5. Jalan-jalan ke Wijilan, Pusatnya Gudeg di Yogyakarta
#Pahlawan Nasional #Maluku
Bagikan
Ditulis Oleh

Ana Amalia

Happy life happy me
Bagikan