SABAN jelang hari Idul Adha, penjualan hewan ternak menggeliat. Orang gegas membeli hewan kurban dengan cara kiwari dan mudah : transfer virtual atau elektronik. Namun, di pasar ternak Sumatra Barat, transaksinya sangat berbeda. Transaksi dilakukan lewat jabat tangan. Namanya Marosok. Ini tradisi turun-temurun orang-orang tua di sana.
Tradisi Marosok merupakan tradisi jual beli hewan (taranak) yang dilakukan antara pedagang (panggaleh taranak) dengan pembeli. Hewan ternak yang dijualbelikan adalah sapi, kerbau, dan kambing. Tradisi ini tersua di pasar ternak (balai) daerah Palangki, Kota Baru, Sungai Sariak, Muaro Paneh, Payakumbuh, dan Cubadak.
Tak ada yang tahu pasti kapan mula tradisi ini berlangsung. Para orang tua hanya menyebut tradisi ini telah berlangsung sejak zaman raja-raja di daerahnya masing-masing.
Baca juga:

Tradisi ini masih dipertahankan hingga sekarang karena diyakini mampu mengurangi persaingan harga antarpenjual. Dengan begitu, perdagangan yang sehat tercipta. Tradisi Marosok akan marak jelang hari Idul Adha.
"Marosok berarti memegang atau meraba. Proses jual beli dalam tradisi Marosok dilakukan dengan diam dan hanya menggunakan isyarat tangan. Hal ini menunjukkan bahwa isi dan kesepakatan antara penjual dan pembeli tidak terlihat," sebut Megasari Noer Fatanti dan Nirwana Happy dalam "Makna Kultural Tradisi Marosok", termuat di Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 16 No 2, Tahun 2019.
Jari sebagai Bahasa
Ketika bersalaman itulah terjadi tawar-menawar harga ternak. Seringkali jabat tangan antara pedagang dan pembeli ditutup oleh topi, baju, atau kain sarung. Hal ini bertujuan agar kesepakatan harga tidak diketahui orang lain sehingga rahasia terjaga (basungkuik).
Selama bersalaman, pedagang akan memegang jari-jari calon pembeli. Tiap jari melambangkan angka 1-10 yang merujuk pula pada harga kambing, sapi, atau domba. Khusus jari jempol melambangkan dua setengah.
Di balai-balai ternak, kambing dihargai mulai dari 1 juta rupiah, sedangkan sapi mulai dari 10 juta. Pedagang dan pembeli sebelumnya telah bersepakat lebih dulu tentang hewan yang ingin ditransaksikan. Seumpama sepakat bertransaksi kambing, lalu terjadi Marosok, dan pedagang menyentuh tiga jari calon pembeli, itu berarti kambingnya seharga tiga juta. Jari yang disentuh melambangkan harga hewan tersebut.
Baca juga:

Sementara jika sepakat bertransaksi sapi dan pedagang menyentuh lima jari calon pembeli, itu berarti sapinya seharga 50 juta. Jika calon pembeli ingin menawar, mereka bisa balik menggerakkan jari ke arah bawah atau menyentuh jari pedagang.
Karena menggunakan isyarat tangan, calon pembeli harus bisa memahami maksud pedagang. Jika pembeli belum terlalu memahami isyarat tersebut, para pedagang akan membantunya dengan cara membisikan (bisiak) harganya.
Masih Relevan
Kesepakatan dalam Marosok tercapai jika pedagang dan calon pembeli melepas tangan masing-masing. Namun dalam beberapa kasus, melepas tangan tak selalu berarti sepakat. Bisa saja calon pembeli ingin menawar lagi. Sebagai kompensasi atas tawaran ini, calon pembeli harus menyerahkan ijok atau uang muka sebagai jaminan untuk pedagang.
Tradisi Marosok terkesan merepotkan pada zaman serba praktis ini. Namun, menurut Samia Fadhilah dan Evie Ariadne Shinta Dewi dalam "Pola Komunikasi Tradisi Marosok antara Sesama Penjual dalam Budaya Dagang Minangkabau", tradisi ini masih relevan dilakukan.
"Tradisi Marosok antara sesama penjual dalam budaya dagang Minangkabau merupakan pola yang dibentuk atas dasar kesadaran untuk menjaga silaturahmi melalui forum diskusi antara sesama pedagang, keharusan mewariskan nilai penting dalam berdagang, dan keharusan membantu sesama," jelas Samia dan Evie.
Tertarik membeli hewan ternak dengan cara Marosok? Bergegaslah ke pasar ternak di Sumatra Barat. (dru)
Baca juga:
Salawat Dulang, Budaya Lisan di Minangkabau yang Masih Dipertahankan