Shanti Mendera, Kartini Aktif yang Pantang Menyerah
KETERBATASAN fisik bukan berarti membatasi ruang gerak. Ungkapan tersebut agaknya tepat disematkan untuk Shanti Mendera. Perempuan yang kerap disapa Shanti tersebut dikenal aktif dan lincah. Ia bahkan sangat gemar berolahraga, seperti renang, bersepeda, dan bela diri. Perempuan yang pernah bekerja sebagai geologis tersebut bahkan gemar melakoni olahraga ekstrem, seperti rock climbing, body rafting, dan mendaki gunung.
Keberanian dan kecekatan tersebut muncul karena peran orangtuanya. Ia memiliki orangtua yang cukup mendukung. “Ibu dan ayah saya selalu meyakinkan bahwa jika orang lain bisa, kamu pasti bisa. Di mana ada kemauan, di situ ada jalan,” ucapnya tegas.
Meski Shanti memiliki keterbatasan fisik, kedua orangtuanya memperlakukannya sama seperti saudara-saudaranya yang lain. Dari kecil, ia mendapatkan tugas rumah tangga seperti menyapu, mengepel, dan lain sebagainya. Asisten rumah tangganya yang melihat kondisinya merasa kasihan dan menawarkan diri untuk membantu. Namun, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh ibunya.
“Beliau bilang, 'enggak'. Kalau Shanti tidak disuruh ngepel, dia takkan tahu cara mengepel,” beber perempuan berambut panjang tersebut.
Ketika Shanti duduk di kelas 6 SD, orangtuanya memasukkan perempuan kelahiran 15 Mei tersebut ke sebuah pelatihan bela diri, yakni Perisai Diri. “Ibu saya mewajibkan anak-anaknya untuk belajar bela diri karena dia mau anak-anaknya bisa menjaga diri kalau terjadi sesuatu, apalagi anak perempuan,” terangnya.
Shanti selalu berusaha membuktikan ke khalayak bahwa keterbatasan fisik tak membatasi dirinya dalam melakukan apa pun. Ia selalu mematahkan anggapan orang lain yang memandangnya sebelah mata kepada dirinya. Hal tersebut pernah ia buktikan kala masih menjadi geolog di sebuah perusahaan minyak dan gas. Sebagai seorang geolog, waktunya banyak dihabiskan di off-shore. Untuk bekerja di off-shore, Shanti harus mendapatkan SHE (safety, health, and environment) passport dengan melakukan serangkaian pelatihan.
Salah satu tahapan pelatihan itu ialah boat transfer. Di dalamnya, ia harus berpindah dari kapal ke rig dengan bergelantungan seperti Tarzan. Namun, ia sempat dilarang seorang pelatih yang meragukan kemampuan Shanti karena kondisinya. “Saya bilang, 'bapak memandang rendah saya? Kok belum melihat sudah meragukan kemampuan saya?',” ulangnya. Ia pun berhasil membuktikan bahwa ia mampu melakukan pelatihan itu.
Tak hanya dikenal sebagai pribadi yang aktif, Shanti juga memiliki rasa ingin tahu dan keberanian yang sangat besar. Hal tersebut yang membuatnya berani keluar dari zona nyaman sebagai geolog menjadi seorang guru yoga.
"Buat saya, pekerjaan masih bisa dicari kok, tetapi kan hidup hanya sekali jadi harus dinikmati," urainya.
Kecintaannya akan olahraga asal India tesebut dimulai sejak 2009. Kala itu, ia ingin menurunkan bobot badannya yang mencapai 74 kilogram. Berbagai usaha telah ia tempuh, tapi hasilnya tak signifikan. “Dulu saya sempat malas yoga karena merasa itu olahraga enggak saya banget,” bebernya. Namun, justru olahraga tersebut yang membuatnya berhasil menurunkan berat badan hingga 20 kilogram.
Meski tujuannya untuk memiliki berat badan ideal telah tercapai, Shanti tetap konsisten melakukan olahraga yoga. Selain rutin melakukan yoga setiap hari, Shanti juga rajin membaca buku tentang yoga. Ia juga kerap berdiskusi dan bertukar pikiran dengan sang ayah yang seorang dokter untuk membahas anatomi tubuh. Pengetahuannya akan olahraga yoga yang luar biasa membuat sang pelatih yoga menyarankan Shanti untuk mengambil kelas untuk instruktur yoga.
“Guru saya pernah bilang, 'kamu udah enggak cocok jadi peserta yoga. Cocoknya jadi pelatih',” ulangnya mengingat kejadian lima tahun silam. Setelah mendengar penuturan guru yoganya, Shanti memberanikan diri untuk menjadi instruktur yoga pada 2013.
Dalam melakukan hal yang disukai, Shanti melakukan dengan totalitas. Ia memberanikan diri untuk pensiun dini sebagai geolog pada 31 Januari 2017 dan pergi ke India untuk belajar yoga.
“Di Jakarta ada sih sekolah yoga. Namun, saya ingin belajar langsung di negara asal yoga yakni India. Saya ingin tahu bagaimana yoga di sana dan kehidupan orang-orang di sana,” katanya mengungkapkan alasan pergi ke India.
Pada Februari hingga Maret 2017, ia mempelajari ilmu yoga di Yoga Vidya Gurukul di Nashik, Maharashtra, India. Di sana ia belajar ilmu seperti Diploma of Yoga Therapy, Prenatal and Post Natal Yoga, Kids Yoga, dan Ayurveda. Shanti pun tinggal di sebuah asrama. Ia mengatakan pelatihan yoga di sana sangat ketat. Ia mulai belajar dari 06.00 hingga pukul 21.00.
“Tepat pukul 21.00, lampu asrama seluruhnya harus dimatikan. Jadi kalau ada tugas yang belum selesai dikerjakan, saya menggunakan pencahayaan dari ponsel, karena enggak enak sama teman sekamar,” jelasnya.
Shanti menilai yoga merupakan olahraga yang universal. Siapa pun bisa melakukan olahraga tersebut tak peduli tua, muda, gemuk, atau mereka yang memiliki keterbatasan fisik lainnya. “Yoga hanya tak bisa dilakukan satu orang, yakni orang pemalas,” imbuhnya.
Shanti cukup prihatin dengan kenyataan bahwa penyebab kematian terbesar generasi saat ini ialah jarang gerak. Ia mengajak generasi muda untuk rutin berolahraga sehari minimal 10 menit. “Tidak ada alasan tidak ada waktu. Untuk buka media sosial berjam-jam saja sempat, masak untuk berolahraga tidak sempat?” tukasnya.(Avi)