UNTUK membuat sebuah film yang jadi pemicu perubahan di dunia, menurut sineas Mandy Marahimin, ada tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu berupa waktu dan riset. Dibutuhkan waktu yang panjang dan riset ketika ingin membawa perubahan dan dampak positif kepada dunia.
Usaha tersebut dibutuhkan agar film yang diciptakan tidak hanya menyajikan dialog belaka, tapi juga menggambarkan visual yang kuat.
"(Membuat film) Ini bukan proses yang mudah, banyak film gagal melakukan ini karena mereka enggak punya waktu untuk mengembangkan cerita, enggak punya waktu riset untuk dokumenter menjadi baik sehingga nilai-nilainya jadi tempelan belaka," kata Mandy, dikutip ANTARA, Kamis (12/5).
Baca juga:
Reading, Tantangan Terbesar Nicholas Saputra di Film ‘Paranoia’

Dalam ajang Values 20 atau V20 Indonesia, Mandy berperan sebagai kurator untuk Pekan Film V20 yang bertujuan menghadirkan film-film dengan tema nilai-nilai kemanusiaan. Sebagai kurator film, Mandy berpesan bahwa ada baiknya pembuat film tidak hanya menunjukkan nilai lewat dialog semata, tapi juga memasukkannya dalam setiap aspek film mulai dari plot, cerita, hingga karakter.
"(Sebuah nilai) tidak bisa hanya dibicarakan lewat omongan, karena kalau nilai-nilai itu hanya disampaikan melalui dialog atau disampaikan melalui wawancara saja, maka yang akan sampai kepada penonton adalah otak mereka yang akan dirangsang dan bukan emosi mereka. Dan bukan itu kekuatan film," lanjutnya.
Baca juga:
Mandy, sosok di balik film dokumenter Semesta, Sobat Ambyar, dan Ada Apa dengan Cinta 2? itu mencontohkan salah satu film yang berhasil merebut emosi penonton dan mampu mengubah regulasi menjadi lebih baik adalah dokumenter asal Afrika, Virunga yang rilis pada 2014.
Film itu menyentuh banyak pihak termasuk para pemangku kepentingan di Afrika yang akhirnya mampu mengubah regulasi menciptakan Taman Nasional untuk mempertahankan Gorila Gunung yang terancam punah di kawasan itu.
"Film itu kan media yang bercerita secara audio dan visual, dan media ini kita buat untuk memahami dunia kita, memahami manusia, dan memahami kenyataan. Bagaimana film bisa melakukan itu? Dengan caranya yang halus, sehingga film itu tidak selalu menyampaikan pesan lewat dialog belaka, karena kalau hanya mengandalkan dialog tnapa visualisasinya, filmnya jadi lemah," ungkap Mandy.
Beberapa film asal Indonesia yang dipilih untuk tayang di Pekan Film V20 2022 ialah "Maria Ado'e" karya Gleinda Stefany, "End of The Tunnel" karya Garry Christian, "The Flame (Bara)" karya Arfan Sabran,serta "Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara" karya Herwin Novianto. (and)
Baca juga:
Tantangan Angga Dwimas Sasongko Sutradarai Film 'Ben & Jody'