Makna Azimat dan Hizib bagi Tarekat Naqsabandiyah


Contoh rajah. (Sumber: Kitab Mujarrabat)
BAGI sebagian umat muslim, aksara Jawa Pegon pada azimat atau hizib merupakan jalan bertentangan dengan Islam. Namun, lain halnya bagi Tarekat Naqsabandiyah.
Menurut mereka, seperti dikutip dari buku Ilmu Hikmah antara Hikmah dan Kedok Perdukunan karya Perdana Akhmad, penggunaan hizib, ratib, atau azimat sangat populer di dalam dunia pesantren. "Dipercaya memiliki kekuatan spiritual di atas ilmu-ilmu hikmah," tulisnya.

Dalam dunia tarekat, tulis Perdana, hizib itu bermacam-macam bentuknya. Zikir-zikir atau hizib dalam bentuk ratib sangat populer dalam Tarekat Samaniah dan Tarekat Haddadiyah. "Kalau dalam Tarekat Naqsabandiyah berupa zikir latifah."
Sementara itu, Luis Makluf dalam al-Mujid fi al-Lughat wa al-A’lam, Dar al-Masyriq menjelaskan, mengamalkan doa-doa, hizib, dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Seturut dengan hal tersebut, pemimpin Majelis Tanwiirul Quluub, KH Ahmad mengatakan membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. "Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya," kata KH Ahmad kepada merahputih.com, Senin (10/9).

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, "Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya), Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut."
Abdullah bin Umar, kata KH Ahmad, mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas. "Kemudian digantungkan di lehernya."
Selain untuk menjaga dari pengaruh negatif, dalam teks Catatan Pengikut Tarekat Naqsabandiyah (CPTN) yang disalin pada tahun 1958 dalam bahasa Jawa, dijelaskan macam-macam azimat dan rajah, juga tentang pijat pengobatan.
Motif-motif jimat dan rajah dalam naskah CPTN tersebut mengandung tiga unsur sosial kemasyarakatan, enam kesehatan, sepuluh kehidupan rumah tangga; hubungan suami istri; dan pengasuhan anak, enam ekonomi, lima keamanan, dan tiga aspek kesaktian.
Ritual Rebo Wekasan juga menyumbang pengaruh dalam penyalinan naskah CPTN ini. Untuk merasakan tuah doa, mantra, jimat, dan rajah pengetahuan saja tidak cukup, bahkan ilmu saja tidak cukup, seseorang harus menjalankan ngelmu.
Pada tahap yang tinggi hanya dengan diam seseorang bisa melakukan "keajaiban-keajaiban" tanpa perlu merapal doa, mantra, jimat, dan menulis rajah.
Penggunan Rajah atau Wafak

Bagi masyarakat Jawa keberadaan makhluk halus, roh, malaikat, Tuhan sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Orang Jawa mengakui bahwa di samping mahkluk yang tampak, ada pula mahkluk di wilayah lain yang patut dipertimbangkan guna mencapai keseimbangan hidup.
Karena itu, dalam penyebaran Islam awal beberapa Walisongo kerap menggunakan rajah atau azimat. "Isi rajah berupa aksara Arab Melayu atau Jawa Pegon adalah doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa," kata KH Ahmad.
"Bahkan beberapa azimat tersebut sudah termaktub dalam kitab khusus bernama Kitab Mujarrabat."
Sedangkan Tarekat Naqsabandiyah, dalam Ensiklopedi Islam, tersebar ke Nusantara pada abad ke-19 M. Tarekat ini mengalami perkembangan pesat terutama ketika menghadapi Pemerintah Hindia Belanda.
Annemerie Schimmel dalam Mystical Dimensions of Islam, mengemukakan tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan guna menandingi kekuatan lain.
Selain gerakan Beratib Beamaldi wilayah Borneo (Kalimantan) bagian selatan sekitar tahun 1859-1861, pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan dipimpin oleh para ulama dan kiai.
Mengenai wafak, makin bermakna karena memiliki bentuk kaligrafi, geometrik, dan pengulangan yang menjadi ciri khas seni Islam cukup tampak. Bila dianalis ternyata kekhasan seni Islam pada azimat berwafak ini tidak sepenuhnya meniru dari kekhasan seni Islam.
"Ini terbukti adanya simbol binatang realistik, tokoh pewayangan senjata, bahkan menciptakan simbol-simbol abstrak yang unik."
Sementara, azimat berwafak dalam tradisi masyarakat Banjar, dibuat menggunakan angka-angka, lambang-lambang rajah dan ayat-ayat Alquran kebanyakan berasal dari Islam. "Jadi, tak setiap jimat itu berwafak. Setiap barang yang berwafak maka kekuatannya akan bertambah, mewafak adalah merupakan ilmu tersendiri."
Jimat-jimat lain yang berasal dari jenis tumbuh-tumbuhan, binatang, tanah, logam seperti wasi kuning dan sebagainya.
Kumpulan jimat yang serupa ini yang dipakai untuk melindungi diri dari bencana, membuat seseorang kebal, ditakuti orang, ada juga jimat yang besar selilit pinggang yang disebut babatsal.
Seperti diketahui, Tarekat Naqsabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari di Turkistan. Tarekat ini mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda.
Aliran tersebut pertama kali berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, India, bahkan Indonesia.
Ciri menonjol Tarekat Naksabandiyah adalah mengikuti syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. (*)