MerahPutih.com- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menerima pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Amnesty Internasional Indonesia di kantor Kemenko Polhukam, Jumat (15/4).
Hadir pada pertemuan Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Staf Khusus Ketua MRP Onias Wenda, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Baca Juga:
Fraksi Demokrat Minta RUU Pemekaran Papua Dikembalikan kepada Pengusul
Menurut Mahfud, pemerintah mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh MRP.
MRP menyampaikan banyak hal, antara lain persoalan penambangan baru di Wabu pasca perpanjangan kontrak Freeport.
"Saya menyampaikan bahwa penambangan baru dilakukan oleh BUMD dan BUMN dengan tetap memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat luas dan masyarakat adat. Hingga saat ini belum ada Ijin Usaha Pertambangan (IUP)," tulis Mahfud seperti dikutip dari akun Instagram resminya @mohmahfudmd.
"MRP pada kesempatan ini juga menyerahkan surat aspirasi kepada Presiden RI, yang saya terima untuk disampaikan," tambah Mahfud.
Timotius menyiapkan surat yang diserahkan MRP kepada Mahfud untuk diteruskan kepada Presiden Joko Widodo.
Isi surat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Timotius mengatakan, MRP menyampaikan sejumlah hal kepada Jokowi melalui Mahfud.
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otsus Papua, MRP mempunyai tugas dan wewenang untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut perlindungan hak-hak Orang Asli Papua serta memfasiliitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Kemudian, lanjut Timotius, sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU tersebut, MRP memiliki peran terkait dengan pembentukan daerah otonomi baru, baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Peran tersebut ditegaskan dalam ketentuan tersebut, yaitu bahwa pembentukan atau pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP dan setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang.
Yoel menambahkan, MRP telah menerima aspirasi masyarakat Orang Asli Papua.
“Sebagian besar menolak pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru (DOB) karena dilakukan dengan pendekatan sentralistik yang mengacu pada ketentuan yang baru, yaitu Pasal 76 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Otsus Papua,” katanya.
Baca Juga:
Ia menyayangkan langkah Komisi II yang terburu-buru mendorong pemekaran wilayah Papua. Badan Legislasi DPR RI secara cepat menyetujui tiga RUU DOB pada 6 April 2022.
Lalu kurang dari sepekan kemudian, pada 12 April 2022, RUU tersebut disetujui oleh Rapat Paripurna DPR RI menjadi RUU Usul Inisiatif DPR, yaitu RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
"Ini sangat tidak terburu-buru dan tidak partisipatif,” jelas Yoel.
Untuk itu, MRP meminta agar seluruh pelaksanaan revisi kedua UU Otsus, terutama rencana pemekaran dan pembentukan DOB di Tanah Papua ditunda sampai ada keputusan final dari MK.
MRP berharap kebijaksaan dari Jokowi terkait hal tersebut.
Untuk saat ini, MRP meminta pembentukan DOB ditunda sampai ada putusan final dari Mahkamah Konstitusi yang sedang memeriksa uji materiil UU Otsus Papua hasil amandemen kedua.
Sementara itu, Usman Hamid mengapresiasi penjelasan Mahfud yang mengatakan pemerintah akan memperhatikan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat sebelum benar-benar melakukan penambangan emas.
“Pak Mahfud juga mengatakan pemerintah akan memperhatikan rekomendasi-rekomendasi hasil penelitian Amnesty terkait rencana tambang emas di Blok Wabu, Intan Jaya. Temuan dari penelitian kami juga telah dibahas dalam pertemuan Menkopolhukam dengan Menteri BUMN, Menteri Investasi, bahkan Presiden,” jelas Usman.
Ia mengklaim, banyak orang Papua yang khawatir jika pembentukan DOB akan diikuti oleh penambahan gelar pasukan dan satuan-satuan territorial maupun pembentukan Polda-polda di provinsi-provinsi baru tersebut.
Oleh karena itulah, Usman berharap, rencana pembentukan DOB dapat memperhatikan implikasi politik, hukum, keamanan, dan juga situasi HAM di Papua. (Knu)
Baca Juga:
Senator Minta Aspek Keamanan Jangan Jadi Acuan Utama Pemekaran di Papua