2 Menteri Beda Pendapat PP Pembebasan Koruptor, Demokrat Semprit Mahfud MD

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Senin, 06 April 2020
2 Menteri Beda Pendapat PP Pembebasan Koruptor, Demokrat Semprit Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD bantah ada gesekan antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait PSBB (MP/Kanu)

Merahputih.com - Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR, Didik Mukrianto mengingatkan kewenangan untuk membuat, merevisi, ataupun tidak merevisi sebuah peraturan pemerintah (PP) menjadi kewenangan sepenuhnya Presiden.

Oleh karena itu, para menteri jangan berpolemik terkait dengan perlu atau tidak revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Baca Juga:

Pemprov DKI: Tenaga Medis Masih Kekurangan APD dan Masker

"Karena secara teknis, ini sifatnya sangat internal di pemerintahan. Dalam hal ini seharusnya Menkopolhukam tidak perlu berwacana, bahkan berpolemik di tengah publik terkait dengan lingkup kewenangan Menkumham," kata Didik, Senin (6/4).

Hal itu dikatakannya terkait perbedaan pendapat antara Menkopolhukam dan Menkumham terkait dengan rencana revisi PP No. 99/2012.

Menurut Didik, yang perlu dipahami adalah sebuah kementerian mempunyai tugas dan wewenang yang seharusnya tidak boleh saling bertabrakan satu sama lain, apalagi yang terkait dengan persoalan kewenangan teknis kementerian.

"Sepengetahuan saya, urusan PP 99/2012 secara teknis menjadi domain dari Kementerian Hukum dan HAM, mengingat secara teknis itu menjadi urusan Kementerian Hukum dan HAM," ujarnya.

Anggota Komisi III DPR itu mengatakan bahwa polemik tersebut tidak akan memberikan kemanfaatan yang baik buat bangsa dan masyarakat, dan membuat kebingungan di masyarakat.

Seharusnya, lanjut dia, Menkopolhukam dapat berkoordinasi dan memberikan masukan kepada Menkumham secara kelembagaan atau bersama-sama memberikan masukan kepada Presiden.

"Karena berubah atau tidaknya PP 99/2012 itu menjadi kewenangan sepenuhnya Presiden," katanya.

Sebelumnya, Menkumham Yasonna H. Laoly dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI yang berlangsung secara virtual, Rabu (1/4), mengatakan pemerintah akan mengeluarkan sebanyak 35.000 warga binaan dengan membuat Peraturan Menkumham Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menkumham Nomor 19.PK.01.04 tahun 2020.

Menteri Yasonna bantah ingin bebaskan koruptor dengan alasan pandemi corona
Menkumham Yasonna Laoly di Istana Negara, Jakarta. (Humas/Rahmat/setkab.go.id)

Langkah itu, menurut Yasonna, sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di lapas yang kelebihan kapasitas. "Tentu ini tidak cukup. Perkiraan kami bagaimana merevisi PP 99/2012 tentu dengan kriteria ketat sementara ini," katanya.

Kriteria ketat tersebut, sebagaimana dikutip Antara, adalah pertama, narapidana kasus narkotika dengan masa pidana 5—10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya maka akan diberikan asimilasi di rumah yang diperkirakan jumlahnya mencapai 15.442 orang.

Kedua, sebagaimana dikutip Antara, napi tindak pidana korupsi berusia 60 tahun ke atas yang telah menjalani 2/3 masa pidana sebanyak 300 orang.

Ketiga napi tindak pidana khusus dengan sakit kronis yang dinyatakan oleh rumah sakit pemerintah dan telah menjalani 2/3 masa pidana sejumlah 1.457 orang, dan napi warga asing sebanyak 53 orang.

Baca Juga:

KPK Singgung Menteri Yasonna Jadikan Pandemi COVID-19 Alasan Bebaskan Koruptor

Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan bahwa PP No. 99/2012 saat ini masih berlaku dan belum ada wacana untuk merevisi PP tersebut. "PP No. 99/2012 tetap berlaku dan belum ada pembahasan kabinet untuk merevisinya," katanya.

Mahfud menjelaskan bahwa para napi berjumlah 30.000 orang yang dibebaskan itu bukan termasuk napi terorisme maupun napi korupsi, melainkan napi pidana umum. (*)

#Mahfud MD #Yasonna Laoly #Partai Demokrat
Bagikan
Bagikan