MEMILIKI anak itu mahal. Tak peduli di mana kamu tinggal. Namun, saat Amerika berada di tengah-tengah skala biaya, Tiongkok telah menjadi salah satu negara paling mahal untuk membesarkan anak-anak.
Korea Selatan berada di puncak daftar tempat termahal untuk membesarkan anak sejak lahir hingga usia 18 tahun, diukur dalam bentuk persentase dari produk domestik bruto (PDB) per kapita. Demikian laporan penelitian dari Jefferies (JEF) yang menggunakan data dari Yuwa Population Research. PDB merupakan ukuran terluas dari aktivitas ekonomi suatu negara.
Tiongkok berada di urutan kedua, diikuti Italia. Amerika Serikat berada di tengah-tengah 14 besar tempat paling mahal, di antara Jerman dan Jepang.
BACA JUGA:
Invasi Ukraina Memengaruhi Daftar Paspor Paling Sakti di Dunia 2022
Namun, dalam hal jumlah absolut uang yang dihabiskan, Tiongkok merupakan salah satu tempat termurah untuk memiliki anak. "Data itu semua relatif. Jika kita kemudian menyesuaikan data itu dengan persentase pendapatan rata-rata yang dapat dibelanjakan, Tiongkok menjadi tempat paling mahal untuk membesarkan anak-anak," kata para peneliti Jefferies.

Jadi apa yang membuat membesarkan anak-anak di timur jauh begitu mahal? Sebagian besar dana habis untuk biaya pendidikan dan biaya serta ketersediaan perawatan ketika anak masih kecil. Layanan prasekolah di Tiongkok sebagian besar dikelola swasta sampai saat ini. Demikian diungkap Jefferies.
Dibutuhkan lebih dari USD 75.000 (Rp 1.077.390.000) untuk membesarkan seorang anak sampai usia 18 tahun di Tiongkok, dan tambahan USD 22.000 (Rp 316.034.400) untuk menyekolahkan mereka di universitas.
Meskipun kedengarannya seperti biaya kuliah yang jauh lebih murah daripada yang mungkin dihadapi siswa di Amerika Serikat, ada perbedaan utama. "Di banyak negara Barat lainnya, pinjaman siswa yang diberikan negara lebih umum, dan beban dicabut dari orangtua dan ditransfer ke anak-anak itu sendiri," kata analis Jefferies.
Bantuan pemerintah

Anggota parlemen memiliki banyak pilihan untuk mengurangi biaya memiliki anak, termasuk menyubsidi biaya penitipan anak untuk membatasi kesenjangan antarorang-orang di kelas pendapatan yang berbeda.
Beijing sudah mengambil langkah untuk membuat les setelah sekolah lebih mudah diakses. Langkah berikutnya, menurut para analis Jefferies, ialah mengurangi biaya taman kanak-kanak. "Kami memahami bahwa pemerintah berusaha agar negara menyediakan layanan ini dan/atau mengatur harga layanan swasta," kata mereka.
Pemerintah Tiongkok mengumumkan dalam rencana lima tahunnya saat ini bahwa mereka bertujuan meningkatkan jumlah tempat penitipan anak untuk anak-anak di bawah usia tiga tahun menjadi 4,5 per 1.000 orang pada 2025. Jumlah itu mencapai dua setengah kali jumlah saat ini yaitu 1,8 per 1.000. Saat ini, ada 42 juta anak di bawah usia tiga tahun di Tiongkok. Orangtua dari sepertiga anak-anak tersebut ingin anak mereka masuk taman kanak-kanak. Namun, hanya 5,5 persen yang benar-benar dapat melakukannya.
Tingkat kelahiran di negara-negara kaya cenderung lebih rendah daripada di negara-negara berkembang. Ini dikenal sebagai 'paradoks ekonomi-demografis'. Itu berarti mereka yang memiliki kemampuan lebih memilih untuk punya lebih sedikit anak daripada mereka yang berpenghasilan rendah.
"Ketika Tiongkok berkembang secara ekonomi, sangat mungkin bahwa ia akan jatuh ke dalam paradoks ekonomi-demografis seperti yang dilakukan banyak negara maju lainnya, dan tingkat kelahiran mungkin turun ke tingkat yang lebih rendah daripada yang diperkirakan banyak orang," kata analis Jefferies.
Bahkan kini, pasangan di Tiongkok enggan memiliki anak lebih dari satu karena mahalnya biaya membesarkan mereka. Sementara itu, pasangan di negara-negara Barat tampaknya menginginkan dua hingga tiga anak, jumlahnya lebih rendah di Timur. Selain itu, angka pernikahan juga menurun. Namun, dalam budaya Asia, memiliki anak di luar nikah jauh lebih jarang jika dibandingkan dengan Barat.
Tren demografis seperti tingkat kelahiran memengaruhi bisnis dan ekonomi suatu negara. Populasi yang menua mengalami kesulitan mengikuti sistem kesejahteraan mereka, termasuk jaminan sosial dan pensiun publik, karena populasi pekerja menurun. Seiring waktu, itu dapat meningkatkan kebutuhan akan hal-hal seperti otomatisasi untuk menggantikan pekerja yang hilang.
Tren demografis juga memengaruhi perusahaan dan saham, meskipun baru beberapa dekade mendatang, kata analis Jefferies. "Kami berharap melihat dorongan yang berkelanjutan dan signifikan untuk mengurangi biaya membesarkan anak secara global dan lebih khusus lagi di Tiongkok," kata mereka. Itu mungkin termasuk keringanan pajak, pemberian uang tunai, dan subsidi.(aru)