MADE IN NEGERI AING

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Selasa, 01 Juni 2021
MADE IN NEGERI AING
Made in Negeri Aing. (Foto: MP/Fikri)

GRUP sneakers mendadak ramai setelah seorang anggota baru ingin cek legit. "Bang, kemarin gue beli sepatu tiga garis di Inggris tapi kok made in Indonesia. Asli apa KW?". Ia merasa sudah jauh-jauh titip beli di luar negeri tetapi ternyata beroleh label bikinan negeri sendiri.

Penghuni grup, terutama sudah makan asam garam, lantas bermunculan menjelaskan label bukan patokan menentukan sepatu legit atau KW, dan tak sedikit produsen sepatu ternama memproduksi produknya di Indonesia sehingga tak aneh bila ada label 'Made in Indonesia'.

Para produsen merek ternama di dunia tersebut memilih Indonesia sebagai basis produksi untuk pasar global karena murah keterampilan pekerja memiliki nilai lebih.

Anehnya, mengapa merek ternama dunia percaya terhadap kualitas Indonesia, sementara sebagian masyarakat justru menganggap sebelah mata. Bahkan, pada kasus di atas dianggap palsu alias KW.

Menyembah produk luar negeri memang pernah jadi semacam tren puncak ketika Oil Boom di Indonesia pada pembuka tahun 80-an dan terus merangsek sampai 90-an. Di masa tersebut identitas menjadi Barat, berporos pada Amerika atau Eropa, menjadi sangat penting demi citra diri jadi trendi.

Efek dari kebiasaan menganggap merek luar negeri jempolan, memunculkan strategi produk anak negeri menggunakan merek sampai tampilan produk seolah Amerika, seolah Eropa, seolah Jepang, dan seolah Korea. Padahal, aslinya MADE IN NEGERI AING.

Kini, bahkan sepuluh tahun terakhir cara pandang tersebut berubah. Masyarakat Indonesia tak lagi menyembah produk luar negeri, karena merek lokal kualitasnya semakin baik, semakin personal buat konsumen, kesadaran konsumen semakin bertumbuh, dan terpenting ekosistem lokal menguat di berbagai daerah.

Kalcer atau kultur sebuah istilah mungkin paling dekat dengan dukungan anak muda terhadap perkembangan ekosistem lokal. Lihat betapa raffle rilisan sepatu merek luar negeri segera terganti dengan belomba-lomba cop Compass. Setiap rilis dengan berbagai variasi selalu ludes dalam hitungan detik. Parahnya lagi, harga purnajual bisa dua sampai empat kali lipat, dan orang tetap mau beli.

Penggeraknya, sudah pasti perkembangan internet. Orang semakin mudah berinteraksi tanpa terhalang segala jenis sekat. Pandemi justru semakin menguatkan peran digital. Praktik ekonomi konvensional bergeser cepat pada digital. Pengguna Ecommerce melonjak pesat. Pun pengguna ojek daring, baik demi kebutuhan angkutan orang, barang, makanan, belanja, pijat, bersih-bersih rumah, hingga alat pembayaran nontunai.

Merger Gojek dan Tokopedia semakin meneguhkan betapa ekonomi digital memainkan peranan besar dan strategis. Fusi dua perusahaan digital terbesar 'Negeri Aing' tentu memantik kelahiran bahkan perkembangan pertumbuhan brand lokal. Anak-anak muda enggak akan lagi takut membangunan brand, mencoba bikin startup, melahirkan komunitas, dan berjejaring membuat campaign.

Di tengah menguatnya ekosistem kelokalan tersebut, merahputih.com mengusung tema MADE IN NEGERI AING mengajak semua lini kreatif ikut memperkuat perkembangan brand lokal. Sepanjang bulan Juni, merahputih.com menyajikan cerita jatuh-bangun brand lokal, campaign, keunikan, kalcer, dan value.

Kemunculan brand lokal juga melahirkan kebiasaan baru untuk tak lagi saling berkompetisi. Bila di masa lalu kompetisi untuk menjatuhkan jadi bagian dalam perjalanan pertumbuhan brand, maka di masa kini setiap brand justru berkolaborasi.

Lokal is the new global! (*)

#Juni Made In Negeri Aing
Bagikan
Bagikan