MerahPutih.com - Pemerintah didesak menjelaskan dasar penetapan kebijakan diwajibkannya test reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) kepada calon penumpang pesawat di dalam negeri.
Anggota DPR mempertanyakan kebijakan tersebut, apakah dilakukan penelitian sampling terkait mobilitas masyarakat melalui udara dengan peningkatan kasus positif atau tidak.
Baca Juga:
Legislator PKS Anggap Inmendagri 53/2021 Tak Adil, Minta Harga PCR Disamakan dengan Antigen
"Ini penting agar masyarakat tahu bahwa kebijakan tersebut dibuat berdasarkan hasil penelitian ilmiah,” kata Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani kepada wartawan, Minggu (24/10).
Menurut Netty, kebijakan ini terkait dengan ide pelonggaran mobilitas namun harus tetap terpantau agar tidak kebobolan. Saat ini, angka kasus sudah menurun, PPKM sudah dilonggarkan, namun tetap harus dipantau agar tidak melonjak lagi.
"Nah, bagaimana caranya? Mengapa harus dengan tes PCR yang berbiaya tinggi?” tanya Netty.
Netty juga mengingatkan, kebijakan tersebut jangan sampai diskriminatif. Perlu konsistensi antara prasyarat angkutan darat, laut dan udara terkait metode penapisan COVID-19.

Bila transportasi udara dianggap memiliki risiko lebih, harus ada afirmasi harga tes PCR yang terjangkau oleh semua kalangan. Prinsipnya, lanjut ia, jangan sampai membebani masyarakat, karena saat ini tes PCR masih tinggi. Kimia Farma sebagai BUMN saja mematok harga Rp 495 ribu.
"Angka ini jauh lebih mahal ketimbang harga tiket ekonomi pesawat Jakarta-Surabaya,” katanya.
Oleh karena itu, wajar jika kebijakan ini menimbulkan polemik pro kontra. Jika pemerintah dapat menekan harga tes hingga diangka Rp 150 ribu, akan sangat membantu masyarakat.
"Selain itu, kewajiban tes PCR untuk penumpang pesawat juga memantik masalah karena setiap daerah memiliki kapasitas beragam terkait ketersediaan lab dan aksesibilitas publik untuk PCR," katanya. (Knu)
Baca Juga:
Kapolri Perintahkan Tes PCR Bagi Wisman di Bali Cepat dan Sesuai SOP