MELALUI akun resmi Twitter @mohmahfudmd, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamaan (Menko Polhukam) RI, Mahfud MD, membeberkan beberapa nama penerima gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera.
"Tanggal 10 dan 11 November 2020 Presiden (Jokowi) akan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional (PN) dan Bintang Mahaputera (BM). Yang dapat gelar PN, antara lain, SM Amin dan Soekanto; yang dapat BM, antara lain, Gatot Nurmantyo dan Arief Hidayat," cicit Mahfud MD.

Setidaknya, banyak orang tahu Soekanto karena namanya diabadikan pada Rumah Sakit Polri, namun siapa SM Amin?
Di kampungnya, Lho Nga, Aceh, orang lebih mengenalnya dengan nama Krueng Raba Nasution. Nama kecil putra pasangan Muhamad Thaif bergelar Raja Aminudin asal Penyabungan dengan Siti Madinah asal Batang, Natal Sumatera Utara, tersebut diambil dari nama sungai Krueng Raba di desanya.
Baca juga: Menapak Tilas Indekos para Revolusioner di Lokasi Sumpah Pemuda
Meski tak lama tinggal di Lho Nga lantaran harus ikut orang tuanya berdinas sebagai Opziner der Inlandsche Volksscholen (penilik Sekolah) berpindah kota, nama kecil itu terus melekat pada lelaki nan lahir pada 22 Februari 1904.
Sultan Muhamad Amin sempat mengecap pendidikan di Europeesche Legere School (ELS), Sabang, tahun 1918-1919. Ia tak sempat menamatkan pendidikannya karena kembali harus pindah, dan melanjutkan pendidikan di beberapa daerah, seperti Sibolga, Bukit Tinggi, dan Tanjung Pinang.
Amin lalu melanjutkan sekolah ke Jakarta, Mulo 1921-1924, setelah itu di AMS afdeeling B Yogyakarta 1924-1927 dan Rechtshoogeschool 1927-1933 di jakarta sampai memeroleh gelar Meester in de Rechten (Mr.).
Saat berstudi di Jakarta, SM Amin menjadi bagian dari 82 peserta pada Kongres Pemuda II, Oktober 1928, kemudian melahirkan Ikrar atau lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda. Ia hadir sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Setelah peristiwa tersebut, Amin banyak dikenal sebagai pengacara terutama mengadvokasi para pejuang saat menghadapi tuntutan meja hijau dengan lembaga hukum milik atau mewakili pemerintah Hindia Belanda.
Dari pesentuhannya dengan banyak persitiwa penting, Amin kemudian dikukuhkan menjadi Gubernur Sumatera Utara. Ia menjadi pelopor orang nomor satu bumiputera di Sumatera Utara. Saat menjadi gubernur, Amin memberikan izin penerbitan uang Republik Indonesia sebagai symbol perlawanan terhadap sistem moneter Belanda.
Pada tahun 1956, SM Amin ditunjuk sebagai Ketua Panitia Pembagian Daerah di Kementrian Dalam Negeri. Amin meminta pensiun setelah sekiranya 20 tahun mengabdi sebagai pegawai neger yang terhitung sejak 22 oktober 1962.
Bacaa juga: Gubernur Ali Sadikin, Inisiator Kelahiran Museum Sumpah Pemuda
Pada masa pensiunnya SM Amin tidak menikmatinya dengan menghabiskan waktu tanpa kegiatan, melainkan pada masa pensiun itulah Amin mencurahkan pikirannya secara konkrit untuk pembangunan Indonesia secara keseluruhan.
Di bawah penerbit Pradnya Paramita, Bulan Bintang, dan Hudaya, Amin sudah menulis buku antara lain “Indonesia Dibawah Rezim Demokrasi Terpimpin”, “Demokrasi dalam Bahaya”, “Demokrasi Selayang Pandang”, “Pelemik dengan Harian Berita Yudha”, “Kenang-kenangan dari Masa Lampau”, dan “Kodifikasi Unifikasi Hukum”. Secara khusus Amin menuliskan buku untuk Riau yang berjudul “Mengenang Masa Lampau” dan diterbitkan Arga Binangun Grafika, Pekanbaru, 1978.
Ia beroleh bermacam penghargaan dari negara, berupa Satya Lantjana Peringatan Perdjoaengan Kemerdekaan RI, Bintang Legiun Veteran Republik Indonesia, Bintang Jasa Utama, dan Bintang Mahaputra, dan selanjutnya gelar Pahlawan Nasional pada 10-11 November mendatang.
Sutan Mohammad Amin Nasution meninggal di Jakarta pada 16 April 1993, dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. (Kna)
Baca juga: Detik-Detik Kali Pertama Lagu Indonesia Raya Berkumandang Saat Rehat Kongres Pemuda II