Kurangnya Literasi, Pasien Penyakit Ginjal Kronik di Indonesia Meningkat
PENYAKIT Ginjal Kronik (PGK) tercatat sebagai penyebab 4,6% kematian global pada tahun 2017 dan merupakan peringkat ke-12 sebagai penyebab kematian. Angka ini diprediksi akan terus meningkat dan PGK diperkirakan akan menjadi penyebab kematian tertinggi ke-5 di seluruh dunia pada tahun 2040.
Di Indonesia, prevalensi PGK semakin meningkat setiap tahun, bila tidak diobati suatu ketika dapat mengalami gagal ginjal. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan tahun 2018, prevalensi PGK adalah 0,38%. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada tahun 2020 menunjukkan insidensi kumulatif pasien yang menjalani dialisis (cuci darah) 61.786, dan prevalensi kumulatif 130.931.
Baca Juga:
Penyebab utama gagal ginjal adalah tekanan darah tinggi (hipertensi) dan kencing manis (diabetes). Tingginya angka gagal ginjal ini tidak hanya menjadi beban bagi pasien dan keluarga tetapi juga beban bagi negara dimana biaya yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan untuk penyakit ini sangat tinggi.
Penyakit ginjal pada awalnya tidak bergejala, akibatnya banyak orang yang tidak mengetahui bahwa mempunyai gangguan ginjal. Masih banyak yang belum memahami bagaimana memelihara kesehatan ginjal dan apa yang perlu dilakukan bila kemudian fungsi ginjalnya menurun.
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) pada Virtual Press Conference Rabu (9/3), dr. Aida Lydia, PhD., SpPD, K-GH mengatakan sekitar sepertiga pasien dengan PGK belum mengetahui benar mengenai penyakitnya, progresivitas/perjalanan penyakitnya serta modalitas terapi yang ada bila kemudian mengalami gagal ginjal.
"Pada awal perjalanan penyakit PGK umumnya tidak ada gejala, berbagai keluhan baru dirasakan bila penyakit sudah lanjut," tuturnya.
Kemungkinan kurangnya pengetahuan mengenai kesehatan ginjal menjadi salah satu penyebab umumnya pasien sering terlambat berobat dan sering datang dalam kondisi yang sudah lanjut.
"Gangguan ginjal dapat dicegah dengan mengendalikan faktor risiko, diagnosis dini dan tatalaksana yang optimal agar pasien tidak sampai mengalami gagal ginjal,” sarannya.
Ia menilai, kesenjangan pengetahuan di tengah masyarakat merupakan momok di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
“Situasi ini turut berdampak pada semakin meningkatnya angka kejadian PGK dan rendahnya kualitas hidup pasien dengan PGK. Oleh karena itu, literasi kesehatan pada semua kalangan menjadi kunci yang dapat meningkatkan kewaspadaan kesehatan ginjal dan keberhasilan program kesehatan pemerintah," harapnya.
Baca Juga:
Dia mengungkapkan pada saat ini literasi kesehatan masyarakat umum bahkan di kalangan pasien PGK sendiri masih tergolong rendah.
"Masih ada masyarakat yang belum mengetahui apa itu organ ginjal dan fungsinya," ungkapnya.
Begitu buruknya, terdapat studi yang menunjukkan bahwa 90% penyandang PGK tidak menyadari tentang penyakit yang diderita. Hal ini menunjukkan minimnya informasi kesehatan dikalangan masyarakat.
Secara umum masyarakat perlu diinformasikan mengenai faktor risiko PGK, langkah pencegahan, deteksi dini, nilai laboratorium yang perlu dipantau dan apa maknanya, dampak jangka panjang apa saja yang akan dialami. Kemudian strategi pengobatan yang akan dijalani. Informasi-informasi ini bersifat sangat spesifik
untuk setiap pasien yang hendaknya dipahami oleh pasien dan keluarga.
Hal tersebut diperburuk dengan masih banyak misinformasi di masyarakat yang dalam jangka panjang merugikan kesehatannya. Misinformasi adalah kondisi di mana masyarakat atau pasien mempercayai informasi yang keliru dan menjadikan informasi tersebut sebagai dasar dalam menentukan langkah pengobatan dan gaya hidup ke depannya.
"Sebagai contoh, masih ada yang berpendapat tidak usah minum obat hipertensi atau obat diabetes karena obat kimia dapat merusak ginjal. Sebenarnya, yang merusak ginjal bukan obatnya tetapi penyakit hipertensi dan diabetes itu sendiri,” tukasnya. (avia)
Baca Juga:
Mendamaikan Diri Saat Jadi Korban Momshaming Akibat Operasi Caesar