Kuldesak, Pemecah Kebuntuan Krisis Film Masa Reformasi
INDUSTRI film Indonesia pernah mengalami masa disebut sebagai ‘mati suri perfilman Indonesia’ sekitar 1991 sampai 1998.
Masa-masa kritis tersebut terjadi karena para sineas harus berhadapan dengan banyaknya televisi swasta dan munculnya teknologi VCD, LD, dan DVD sebagai pemasok film-film dari luar negeri.
Baca Juga:
Cara Cerdas Mencegah Anak Menonton Film Dewasa di Layanan Streaming
Dilansir dari Cinema Poetica Research Center, tercatat pada dekade 1990-an produksi film nasional komersial hanya berjumlah 332 film.
Bahkan menurun lebih dari setengah jika dibandingkan jumlah produksi pada 1980-an hingga mencapai 732 film. Sampai pada 1998 dan 1999 kemerosotan itu mencapai titik nadir.
Dalam periode dua tahun tersebut, hanya ada delapan film lokal masuk bioskop. Faktor krisis ekonomi dan gonjang-ganjing politik menjadi utama merosotnya jumlah film lokal di bioskop.
Tidak ingin terus terperosot ke jurang begitu dalam, par asineas muda lokal melahirkan etos produksi secara mandiri melalui film independen.
Baca Juga:
Semangat memecah kebuntuan dipelopori sineas muda tersebut justru dengan membuat film dalam bahasa Indonesia bermakna Jalan Buntu atau Kuldesak.
Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani, dan Nan T Achnas berusaha mendobrak segala formalitas produksi film di masa Orde Baru dengan mengangkat problematika anak muda kalangan kelas menengah Jakarta seperti narkoba, homoseksualitas, dan kesedihan.
Film antologi terdiri dari empat film pendek dengan semangat independen tersebut digarap secara sembunyi-sembunyi dari 1996 sampai 1998. Keempat sutradara Kuldesak mengabaikan peraturan legal-formal rezim Orde Baru tentang produksi film untuk menghemat tenaga, waktu, dan biaya.
Mereka juga kompak untuk tidak mendaftarkan rencana produksi Kuldesak kepada Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan. Mereka juga tidak mendaftarkan diri sebagai anggota Karyawan Film Dan Televisi (KFT) maupun Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI).
Selain itu, untuk menghindari semua jalur birokrasi resmi, tim Kuldesak menanggung biaya produksi fim secara swadaya. Para pemeran juga secara sukarela turut membantu produksinya. Lalu, untuk kebutuhan distribusi, tim Kuldesak mencari sumber pendanaan asing.
Tanpa disangka, berkat sejumlah perubahan dipicu gejolak politik nasional, Kuldesak berhasil tayang di jaringan bioskop nasional pada 27 November 1998 di tiga bioskop Jakarta, dan setelagnya mulai membuka jadwal tayang tiga kota lain, mulai dari Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya.
Pemutaran Kuldesak bisa dikatakan sukses mengundang perhatian kalangan anak muda. Bahkan di beberapa kota, antrean penonton mengular hingga luar bangunan bioskop. Dalam sejumlah liputan media, Kuldesak disebut sebagai film independen pertama di Indonesia.
Senada dengan beberapa media, penulis buku Katalog Film Indonesia, JB Kristanto mengatakan “Kuldesak terbukti bisa memberi warna baru dan segar pada perfilman nasional,” tulis mantan jurnalis Kompas dalam ulasannya pada 5 Desember 1998. (far)
Baca Juga: