JAKARTA merupakan kota metropolitan yang terlihat begitu menjanjikan. Banyak pendatang hijrah ke Jakarta untuk sekedar memperbaiki nasib. Hanya berselang beberapa tahun menetap di ibukota negara ini, mereka kemudian memproklamirkan dirinya sebagai orang Jakarta. Padahal mereka hanya bermodalkan KTP Jakarta.
Meski demikian, ada begitu banyak sejarah tentang kota ini yang terkubur dan tidak diketahui oleh para pendatang ber KTP Jakarta tersebut. Mereka tidak tahu bahwa Menteng yang dikenal daerah elit tersebut sesungguhnya adalah nama buah.
Selain itu, orang-orang Jakarta tidak tahu bahwa zaman dahulu di daerah Kebon Jeruk memang terdapat hamparan pohon jeruk yang cukup luas. Pun mereka tidak tahu kebenaran dari orang Betawi yang dikenal doyan kawin.
Baca juga:
Blok M, dari Kota Satelit Ibu Kota ke Creative Hub Keren Masa Kini
Mereka tidak cukup beruntung untuk menyaksikan potret Jakarta versi original. Sebaliknya, mereka cukup puas melihat gedung-gedung tinggi di Jakarta.
Lantas, benarkah sebuah peradaban modern menggilas peradaban original? Apakah kehidupan modern memang jauh lebih baik dibandingkan budaya lokal sehingga patut menyingkirkan budaya asli?

Dalam novel Kronik Betawi, sang penulis, Ratih Kumala menyoroti transformasi Jakarta dari dulu hingga kini. Melihat apa saja yang sudah tergusur atau terabaikan di ibukota. Selain itu, kita juga bisa melihat perjalanan Betawi dan anak Betawi yang harus berjuang berhadapan dengan modernisasi.
Kronik Betawi mengangkat dinamika tiga bersaudara asli Betawi beserta permasalahan yang mereka hadapi. Ketiga kakak beradik tersebut yakni Haji Jaelani, Haji Jarkasi, serta adik mereka Juleha. Persoalan yang dihadapi ketiganya mewakili seluruh lapisan masyarakat Betawi.
Baca juga:
Misalnya, Haji Jaelani, pengusaha sapi perah yang harus menelan pil pahit tatkala tanah warisan orang tuanya kena gusur. Dirinya berharap ayahnya mau mengajarkan mantera Jiung yang digunakan saat menghadapi tentara Jepang. Ia berharap dengan menguasai ilmu ayahnya, ia tidak perlu menghadapi penggusuran.
Sementara saudaranya Haji Jarkasi juga harus menghadapi problematika yang tidak kalah menyedihkan. Sebagai seorang seniman Betawi, ia tidak mendapatkan upah setimpal dari apa yang ia upayakan. Situasi semakin memburuk ketika kian hari kian sedikit orang yang memiliki minat pada kesenian Betawi. Sepi order dan dia juga harus ikhlas menerima bayaran seadanya.
Terakhir ada adik mereka Juleha yang terjebak dalam pernikahan poligami. "Emang orang Betawi itu tukang kawin ye? Aye kaga setuju kalo ini dibilang tradisi," ujarnya.
Kita juga bisa nelihat bagaimana potret masyarakat Betawi yang sudah terpapar modernisme memiliki dua sikap berbeda. Togar yang lebih suka musik Rock and Roll daripada Gambang Kromong dan Edah yanh masih menyukai budayanya sendiri. Edah yang merupakan anak Jarkasi itu juga digambarkan pandai menari. (avia)
Baca juga:
2021 Menandakan Dua Tahun HUT DKI Jakarta Tanpa Kehadiran Jakarta Fair