Korupsi di Indonesia Sudah Sistemik, Pemicunya Demi Balik Modal Politik

Wisnu CiptoWisnu Cipto - Rabu, 18 November 2020
Korupsi di Indonesia Sudah Sistemik, Pemicunya Demi Balik Modal Politik
Ilustrasi politik uang. (IST/Net)

MerahPutih.com - Korupsi di Indonesia kini menjadi persoalan yang sistemik. KPK melihat sistem politik berbiaya tinggi menjadi faktor utama penyebab maraknya korupsi di Indonesia.

"Bacaan KPK saat ini bahwa tindak pidana korupsi bukan penyakit personal, bukan hanya penyakit personal orang perorang tetapi masalah sistemik. Faktor yang paling menentukan lahirnya tipikor adalah faktor politik di Indonesia berbiaya tinggi," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, dalam Anti-Corruption Summit-4 yang disiarkan di kanal YouTube KPK, Rabu (18/11).

Baca Juga:

Isu SARA dan Politik Uang Masih Jadi Ancaman Serius di Pilkada 2020

Ghufron mengatakan, politik berbiaya tinggi mengakibatkan penyelenggara negara yang terpilih melalui Pemilu berupaya mengembalikan 'modal' yang dikeluarkannya saat proses pemilihan.

Konsekuensinya, para penyelenggara negara tidak fokus melayani masyarakat, melainkan sibuk memperjualbelikan kewenangan, fasilitas dan keuangan negara agar dapat "balik modal".

"Ketika menjabat pada jabatan-jabatan politik karena berbiaya tinggi maka kemudian dia termotivasi untuk mengembalikan modalnya pada saat termotivasi untuk mengembalikan modal maka yang terjadi adalah menjualbelikan jabatannya, wewenangnya dan fasilitas dan keuangan negaranya," ujarnya.

Komisioner KPK Nurul Ghufron sambangi Gedung KPK
Salah satu pimpinan KPK, Nurul Ghufron (Foto: antaranews)

Pernyataan ini disampaikan Ghufron berdasarkan penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK selama ini. Dia mengakui demokrasi Indonesia memang relatif baik. Semakin demokratis suatu negara, seharusnya, semakin transparan tata kelola pemerintahannya yang berdampak pada rendahnya tingkat korupsi. Namun, nyatanya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi hingga saat ini.

"Idealnya demokrasi semakin bagus, rakyat semakin menemukan pemimpin-pemimpin yang baik berintegritas maka kemudian harapannya tindak pidana korupsi semakin rendah," ungkapnya.

Berdasarkan data penanganan perkara korupsi yang dilakukan KPK selama ini, kata Ghufron, kejahatan korupsi terjadi hampir merata di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Latar belakang pelaku kejahatan ini berasal dari berbagai partai politik, suku bangsa atau agama.

"Bacaan KPK, korupsi bukan penyakit partai, agama, dan suku bangsa karena hampir sama, partainya warna warni merah kuning hijau tetapi perilaku korupsinya sama," jelasnya.

Baca Juga

Banyak Calon Tunggal di Pilkada Bukti Kemerosotan Demokrasi

Sementara dari basis profesi, pelaku korupsi juga relatif sama di setiap daerah maupun di tingkat pusat, yakni swasta, kepala daerah dan anggota dewan serta pejabat di pusat maupun daerah. Menurut dia, sektor yang kerap menjadi bancakan pelaku yakni pengadaan barang dan jasa, perizinan dan sumber daya manusia.

Ghufron membeberkan, modus pelaku yang paling banyak ditangani KPK, yakni suap, oemerasan dan gratifikasi dengan metode secara tunai, transfer rekening atau menggunakan mata uang asing serta transaksi di luar negeri.

Ironisnya, lanjut Ghufron, sebagian besar atau tepatnya 64 persen pelaku korupsi yang dijerat KPK merupakan orang berpendidikan dan banyak juga pelaku yang masih berusia muda.

"Tingkat pendidikannya ternyata tidak linier dengan kesadaran antikorupsinya. Harapannya tingkat pendidikan tinggi maka tingkat korupsinya rendah, mestinya berbanding terbalik. Ternyata ini enggak, makin tinggi ternyata semakin inovasi dalam berkorupsi itu," tutup dia. (Pon)

Baca Juga:

KPK Ungkap Sosok yang Bantu Nurhadi Selama Jadi Buronan

#Kasus Korupsi #Politik Uang #Pilkada Serentak
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan