MerahPutih.com - Sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil memenuhi undangan dari Kementerian Polhukam. Mereka memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dikepalai oleh Sigit Purnomo dari Kedeputian III Polhukam.
Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto menyampaikan, dengan tegas bahwa pembuktian ketidakadilan UU ITE bisa ditemukan dengan mudah oleh Tim Kajian Revisi UU ITE.
Baca Juga
Deddy Corbuzier Hingga Ferdinand Hutahean Diminta Masukan Terkait UU ITE
Bahkan, ketidakadilan dan ketidakpastian masih terjadi sampai hari ini. Menurut Damar, UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian.
"Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar," papar Damar, Selasa (9/3).
Damar juga menjelaskan bahwa pemerintah sebaiknya tidak berhenti pada membuat pedoman interpretasi UU ITE saja. Tetapi betul-betul merevisi total 9 pasal bermasalah agar UU ITE menjadi Undang-undang yang lebih baik dalam mengatur kehidupan warga dengan kepastian hukum dan berkeadilan.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menekankan apa saja pokok permasalahan pasal demi pasal di dalam UU ITE yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan multi-tafsir.
Erasmus menekankan, sulit untuk mengatakan persoalan utama UU ITE tidak pada perumusan delik-deliknya, khususnya untuk tindak pidana-tindak pidana konvensional yg ditarik masuk ke dalam UU ITE (cyber-enabled crime).

Seperti Pasal 27 (1), 27 (3), dan 28 (2) UU ITE beserta pemberatan ancaman pidana mencapi 12 tahun yang diatur dalam pasal 36 jo 51(2) UU ITE.
Tumpang tindih pengaturan, ketidaksesuaian unsur pidana, dan ancaman pidana tinggi menjadi masalah utama.
"Untuk itu, ICJR menyampaikan jalan utama adalah melakukan Revisi terhadap UU ITE," jelas Erasmus.
Pendapat ICJR diperkuat lagi oleh Wahyudi Djafar selaku Direktur Eksekutif ELSAM.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid memberi masukan agar kasus-kasus yang menunjukkan ketidakadilan dan saat ini tengah berjalan untuk dihentikan terlebih dahulu. Yaitu dengan mengeluarkan SP3 di tingkat kepolisian dan SKP2 di tingkat kejaksaan.
Ia berujar, selama menunggu kajian dan kepastian revisi UU ITE, segenap jajaran Kemenkopolhukam dapat menimbang tiga usulan.
Pertama, dengan alasan kemanusiaan, mengusulkan ke Presiden untuk pemberian amnesti atau pembebasan tanpa syarat mereka yang dipenjara karena UU ITE dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Kedua, merekomendasikan ke Kapolri untuk penerbitan SP3 oleh kepolisian untuk kasus-kasus tertentu ITE dan berdasarkan telaah bersama lembaga negara yang independen dan masyarakat sipil.
"Ketiga, merekomendasikan ke Jaksa Agung untuk penerbitan SKP2 oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum,” pungkas Usman Hamid.
Koalisi menyesalkan tidak dimasukkkannya Revisi UU ITE dalam prioritas tahun 2021, sekalipun sudah menduga memang pemerintah dan DPR tidak cukup serius ingin melakukan revisi UU ITE.
Koalisi meminta masyarakat untuk tidak surut untuk mendorong revisi total UU ITE karena ini prioritas penting untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan siber di Indonesia, serta menegakkan keadilan. (Knu)
Baca Juga
Gerindra Maunya Revisi UU ITE Bukan Hapus Pasal Tapi 'Karetnya'