PESTA pernikahan Putri Juliana, anak Ratu Wilhelmina, penguasa Kerajaan Belanda, dengan Pangeran Bernhard di Den Haag, Belanda, berlangsung meriah. Hari itu, 7 Januari 1937, jalanan Den Haag jadi lautan manusia dan hiasan bunga terpasang di sana-sini.
Tetamu penting dari penjuru dunia hadir. Termasuk pula wakil Kadipaten Pakualaman dan Kesultanan Yogyakarta. Mereka Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Soerjo Dilogo, putra Paku Alam VII, penguasa Pakualaman, dan Gusti Raden Mas (GRM) Dorodjatoen, putra Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, penguasa Yogyakarta.
Keduanya telah saling mengenal sejak kecil, tapi kurang begitu akrab. Keakraban mereka mulai terbentuk setelah keduanya naik takhta jadi raja di masing-masing wilayahnya. Soerjo Dilogo naik takhta pada 1937, sedangkan Darodjatoen jadi Sultan Yogyakarta pada 1940.
Setelah jadi penguasa Pakualaman, Soerjo Dilogo bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam VIII. Dia mulai menjalin kontak erat dengan Darodjatoen yang bergelar Hamengkubuwono IX karena merasa Belanda berupaya mengadu domba keduanya.
Paku Alam VIII menjalin kontak erat dengan Hamengkubuwono IX lewat cara unik: berkuda. Keduanya sama-sama punya hobi berkuda dan blusukan ke desa-desa.
"Karena saya juga penggemar kuda dan untuk dapat merealisasikan kontak serta kerja sama yang saya inginkan dengan Sri Sultan, saya biasanya menyertai Sri Sultan ketika mengadakan perjalanan keliling ke pelosok-pelosok daerah dengan naik kuda," kenang Paku Alam VIII dalam "Kontak dan Kerja Sama Erat Menyatukan Kesultanan dengan Pakualaman" termuat di Takhta Untuk Rakyat.
Baca juga:
Kisah Pahlawan Nasional Dr. H.R. Soeharto, Dokter Pribadi Bung Karno dan Bung Hatta

Paku Alam VIII (membungkuk) mulai menjalin kontak erat dengan Darodjatoen yang bergelar Hamengkubuwono IX karena merasa Belanda mulai berupaya mengadu domba keduanya. (Foto: KITLV Leiden)
Keduanya sering membicarakan nasib kerajaan di Jawa dan rakyat jelata. Paku Alam VIII juga kerap bertukar pikiran tentang cara menyejahterakan hidup rakyat jelata.
Itu sikap yang tak biasa bagi orang yang lahir dari keluarga aristokrat atau bangsawan. Kaprah dianggap bahwa mereka jauh dari rakyat dan hidup nyaman di istananya masing-masing.
Pakualaman dan Kesultanan dua wilayah yang punya pemerintahan sendiri. Keduanya tidak berada dalam posisi di atas atau di bawah satu sama lain, melainkan sejajar. Dengan demikian, masing-masing penguasa berhak membuat kebijakan dalam pemerintahannya.
Meski begitu, dua penguasa tersebut tak mau berjalan sendiri. Mereka ingin memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya seara bersama-sama.
"Kontrak kerjasama antara Pakualaman dan Kasultanan ditujukan pada masalah-masalah administrasi pemerintahan yang diarahkan pada upaya memajukan kesejahteraan umum, misal: bidang pekerjaan umum, kesehatan, dan pengajaran," catat Martinus Ekonugroho dalam Paku Alam VIII dalam Menghadapi Gejolak Revolusi Kemerdekaan 1945-1950.
Saat Jepang datang, Paku Alam VIII berupaya melindungi rakyatnya dari eksploitasi tentara Jepang. Dia bersama Hamengkubuwono IX meminta para petani agar tak menjual tanah garapannya. Perintah tersebut untuk menghindari perampasan tanah warga yang dilakukan oleh Jepang.
Jepang tak berani berbuat banyak terhadap perintah tersebut. Sebab, Hamengkubuwono telah memaklumatkan bahwa sepeninggal Belanda, dirinyalah penguasa Yogyakarta, dibantu oleh Paku Alam VIII. Tak mengherankan bila keduanya disebut dwi tunggal.
Baca juga:

Kedekatan Paku Alam VIII dengan rakyatnya telah dimulai sejak dia belum menjadi penguasa Pakualaman. Sang ayah menugaskan dia bekerja di Dinas Agraria Kesultanan. "Pada waktu itu saya acap kali masuk-keluar desa sehingga dapat lebih mengenal masyarakat desa di Kesultanan serta Pakualaman," ungkap Paku Alam VIII dalam Takhta untuk Rakyat.
Bagi Paku Alam VIII, kecintaannya pada rakyat sebentuk pengabdiannya kepada Tuhan. Dia memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang diberikan Tuhan dan kelak dipertanggungjawabkan. Kecintaannya kepada Tuhan diwujudkan dengan kecintaannya kepada rakyat. Inilah konsep yang disebut Manunggaling Kawulo-Gusti atau bersatunya hamba dan Tuhan serta rakyat dan raja.
Ketika Indonesia merdeka, Paku Alam VIII menunjukkan dukungannya pada Republik. Dia menyatakan Pakualaman sebagai bagian dari Republik. Padahal banyak penguasa lokal lain di wilayah Republik bersikap mendua atau menunggu.
Ikrar kesetiaannya pada Republik Indonesia terangkum dalam pernyataannya pada 5 September 1945. "Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggungjawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia," begitu amanat Paku Alam VIII.
Tak hanya ucapan, bentuk dukungan kepada Republik Indonesia juga diwujudkan dalam tindakan nyata. Paku Alam VIII menyediakan tempat bagi para pemimpin Republik ketika mereka harus hijrah ke Yogyakarta akibat Jakarta diduduki oleh tentara NICA Belanda pada Januari 1946.
Selain itu, Paku Alam VIII juga membebaskan abdi dalamnya (pelayan di Keraton) untuk berjuang dan bergabung bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia.
Keberpihakan Paku Alam VIII pada Republik bukan tanpa hambatan. Ada beberapa keluarga yang tak sepakat dengan sikapnya. Alasannya, penggabungan ke Republik akan mengurangi hak-hak istimewa bangsawan. Bergabung ke Republik berarti akan ada penyesuaian baru. Karena itulah, tak semua bangsawan lokal mengakui Republik Indonesia.
Paku Alam VIII jalan terus dengan keyakinannya. "Sekalipun ada yang tidak setuju dengan gabungan Pakualaman dan Kasultanan, akan tetapi saya pribadi sejak semula tetap berpendapat bahwa penggabungan menguntungkan rakyat," kata Paku Alam VIII seperti dikutip Kartiko dalam Apa dan Siapa Orang Yogyakarta.
Paku Alam VIII wafat pada 11 September 1998. Jasadnya mungkin lapuk, tapi jasanya tetap abadi. Terekam dalam tulisan dan tersimpan dalam ingatan dari satu generasi ke generasi.
Atas jasa dan pengabdian Paku Alam VIII semasa hidup, Pemerintah Indonesia menetapkan dia sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2022. (dru)
Baca juga:
Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, Siapakah Tokoh Jabar KH. Ahmad Sanusi?