TRES Coracoes mungkin tak akan pernah dikenal warga dunia tanpa kehadiran Edson Arantes do Nascimento alias Pele. Kota kecil nan tenang yang sekarang berpenduduk 75.000 jiwa ini hampir tak punya keistimewaan. Selain kemiskinan penduduknya.
Pele lahir di kota kecil ini pada 23 Oktober 1940. Keluarganya kere. Orangtuanya bahkan tak bisa membelikan bola sepak dan sepatu untuknya.
"Pele bermain sepakbola dengan menggunakan kaos kaki dan kertas koran yang diikat hingga menyerupai sebuah bola," tulis Abimanyu Bimantoro dalam "Menjadi Pele", termuat di Brazilian Football and Their Enemies.
Meski kere benda, Pele kecil kaya semangat dan talenta. Pele kecil bermain bola di gang sempit permukiman padat bersama teman-temannya.
Pele terlahir dari ayah seorang pesepakbola, Joao Ramos do Nascimento atau Dondinho. Prestasi ayahnya tak jelek-jelek amat. Dia sempat memperkuat timnas Brasil enam kali dan mengoleksi 19 gol.
Kemampuan Pele mengolah si kulit bundar berkembang cepat. Dari gang sempit, Pele bermain di lapangan kecil berukuran lapangan futsal sekarang. Interaksi Pele dengan bola begitu lekat.
Baca juga:
View this post on Instagram
Titik balik perjalanan Pele bermula saat dia berusia 15 tahun dan masih menyambi jadi tukang semir sepatu. Waldemar de Brito, seorang pemandu bakat Santos, klub sepakbola profesional, mengajaknya ikut audisi di Santos.
"De Brito yakin bahwa Pele akan menjadi pemain sepakbola paling hebat di dunia," tulis Mohammad Zazuli dalam 60 Tokoh Dunia Sepanjang Masa.
Pele menyambut ajakan itu. Dia kini bisa bermain sepakbola dengan perlengkapan dan fasilitas lebih layak. Sejak bergabung dengan Santos, Pele menunjukkan prestasi gemilang. Dia membawa Santos juara antarklub Brasil.
Pele lalu dipanggil masuk timnas Brasil pada Piala Dunia 1958. Dia ibarat bayi di timnas itu. Usianya baru 18 tahun dan tampil sebagai cadangan.
Pele mencatat gol perdana di turnamen itu pada babak perempat final melawan Wales. Dia lalu berturut-turut mencetak gol pada semifinal melawan Prancis dan final kontra tuan rumah Swedia.
"Pele si Bayi Ajaib!" Demikian reaksi besar-besaran media massa ketika itu.
Baca juga:
Popularitas Pele kian melambung seiring permainan indahnya. Tawaran dari berbagai klub elit Eropa berdatangan: Paris Saint Germain, Juventus, Inter Milan, dan Madrid. Santos menolak tawaran tersebut. Begitu juga Pele.
"Apa yang sesungguhnya mengikat Pele pada Santos? Konon di samping unsur kesetiaan yang menjadi watak Pele, rasa hutang budi kepada perkumpulan yang membesarkannya di gelanggang sepakbola membikin Pele kebal terhadap godaan uang," tulis Tempo, 17 Juni 1972 dalam laporan khususnya untuk menyambut kedatangan Pele ke Indonesia.
Pele kemudian mendapat julukan 'Raja Sepakbola' setelah membawa Brasil jadi juara Piala Dunia pada 1962 dan 1970.
Meski hebat, Pele bukan berarti tak pernah tampil buruk. Namun, setelah tampil buruk, dia kembali tampil memukau. Apa rahasia Pele sedemikian hebat?
Pengalaman keterbatasan Pele pada masa kecil membuatnya tidak ingin menyia-nyiakan tiap momen. Dia berusaha memberikan yang terbaik.
"Setelah melewati pertandingan yang buruk, Pele langsung mengevaluasi pertandingan tersebut dengan berlatih agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dia lakukan sepanjang pertandingan," ungkap Abimanyu Bimantoro.
Dia pensiun dari Santos pada 1974 dan dari dunia sepakbola pada 1977. Usai pensiun, Pele kerap aktif dalam gerakan sosial-kemanusiaan.
Walau sudah jadi 'raja', Pele masih bersedia turun gunung. Dia kesohor karena kedekatannya dengan kaum papa dan membantu mereka untuk memperbaiki kualitas hidup.
Pele wafat hari ini, Jum'at 30 Desember waktu Indonesia. Selamat jalan, Raja Pele! (dru)
Baca juga: