Keuntungan Candu Biayai Laju Pemerintah di Ibukota Baru (3)
YOGYAKARTA berubah setelah ditetapkan sebagai ibukota Republik Indonesia. Sepanjang kota tampak orang berpakaian kumal, compang-camping, wara-wiri tanpa pekerjaan. Ibukota baru jadi magnet banyak orang mencari peruntungan meski tanpa kebisaan.
Baca juga: Sejarah Hari Ini, Yogyakarta Menjadi Ibukota Sementara Republik Indonesia (1)
Selain pengangguran, Hatta juga dipusingkan dengan strategi mengisi kas negara di tengah blokade ekonomi Belanda. Komoditi unggulan seperti karet, gula, dan tembakau tak bisa diekspor lantaran kapal-kapal Belanda menjaga ketat perairan Indonesia.
Pemerintah mengambil jalan lain. Mereka tak bisa berdiam. Candu dan emas jadi jalan keluar. Candu, menurut Rosihan Anwar pada Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, dikemas dengan bungkus kecil sangat mudah diselundupkan para penyelundup utusan pemerintah. Apalagi, lanjut Rosihan, Indonesia diuntungkan karena belum menandatangani perjanjian internasional seputar candu.
Pemerintah memindahkan kantor pusat Jawatan Regie Candu dan Garam dari Jakarta ke Yogyakarta. Memindahkan kantor dan administrasi tentu mudah. Bagaimana memboyong candu di tengah kawalan ketat NICA sepanjang jalur kereta Jakarta-Yogyakarta.
Dari pabrik candu di Salemba, Ibrahim, Kepala Pabrik Candu, memodifikasi wagon kereta api dengan membuat dinding rangkap. Di antara dua dinding tersebut dimasukan candu mentah, sementara di dinding utama berisi obat-obatan medis. Candu pun berhasil lolos pemeriksaan NICA.
Baca juga: Sukarno-Hatta Menumpang Kereta Api Rahasia Menuju Yogyakarta (2)
Setiba di Tugu Yogyakarta, candu diangkut ke gudang garam di bagian utara stasiun. Tak ada seorang pun bisa mengakses lokasi penyimpanan kecuali beroleh surat berbubuh tanda tangan Hatta.
Di dalam gudang tersebut, menurut Muhammad Soleh pada "Perdagangan Candu di Yogyakarta Masa Revolusi Tahun 1945-1949", terdapat 22 ton candu nan selanjutnya agar lebih aman dipindahkan sebagian kecil di Wonogiri dan sisanya diolah di Wonosari, Gunung Kidul.
Distribusi candu agar bisa diperdagangkan di pasar luar negeri diselundupkan badan-badan perjuangan berbekal surat tugas Kementrian Pertahanan dan Kementrian Keuangan. Surat tersebut berlaku di dalam negeri untuk mempermudahkan distribusi.
Sementara setelah lolos dari blokade Belanda, seorang agen penghubung telah menunggu memasarkan candu di Singapura. Toni Wen dan Jhon Coast, dua di antaranya.
Toni Wen pemimpin Pasukan Sukarela Tionghoa di Solo. Ia bekerja sebagai utusan pemerintah dalam mengekspor gula, tembakau, dan vanila ke Singapura dan Tiongkok.
Sementara, Jhon Coast, berkebangsaan Inggris, bekerja sebagai penerjemah pada Departemen Luar Negeri. Ia anak angkat Haji Agus Salim.
Toni Wen dan Jhon Coast memainkan peran ganda sebagai tameng Republik Indonesia menyangkal pemberitaan internasional berkait penyelundupan candu sekaligus agen penghubung perdagangan candu.
Para utusan atau penyelundup punya pelbagai cara agar candu tidak ketahuan Belanda. Mulai, dimasukan kaleng obat medis, disembunyikan di balik tunggangan kuda menggunakan jalan darat, hingga diselimuti bantalan karet.
Dengan mengandalkan candu, pemerintah Republik Indonesia seperti dinukil dalam laporan Depot Opium dan Obat Yogyakarta, sejak 13 Oktober 1947 sampai 6 maret 1948 menghasilkan keuntungan sebesar Rp 49.113.000.
Laporan The Sydney Morning Herald 4 September 1949 bahkan mencatat Indonesoa beroleh keuntungan sekira 20 juta Dolar Singapura dari bisnis candu. (*)
Baca juga: Kisah Jenderal Soedirman Kecil, Polemik Orang Tua Hingga Jajal Sekolah Eropa (3)