MerahPutih.com - Ulama diharapkan ikut menentukan arah perjalanan bangsa. Para ulama dan tokoh agama adalah representasi dari negarawan. Seorang negarawan tidak berpikir 'next election', tetapi berpikir 'next generation'.
Hal itu disampaikan Ketua DPD, LaNyalla Mattalitti dalam Kuliah Umum di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah, Komplek Pondok Pesantren Hidayatullah, Balikpapan, Sabtu (15/1).
Pentingnya ulama dan tokoh agama berperan karena LaNyalla mengaku prihatin melihat perjalanan sistem tata negara bangsa setelah dilakukan amandemen Konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam. Sejak saat itu, kedaulatan rakyat sudah tidak memiliki wadah yang utuh.
Baca Juga:
Pimpinan DPD Dukung Vaksin Booster Diberikan Cuma-Cuma
"Dulu sebelum dilakukan amandemen, kedaulatan rakyat ada di Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR RI yang terdiri dari partai politik melalui anggota DPR, Utusan Daerah yang merupakan wakil-wakil daerah dari Sabang sampai Merauke dan unsur Utusan Golongan yang adalah wakil dari beragam golongan di masyarakat, termasuk dari ulama dan tokoh agama," ujar LaNyalla dalam keterangannya, Minggu (16/1).
Dijelaskan LaNyalla, sejak amandemen 20 tahun yang lalu, Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus. Presiden dipilih langsung. Sampai kepala daerah juga dipilih langsung. Utusan Daerah dan Utusan Golongan diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah.
"Tetapi DPD tidak memiliki kewenangan yang sama dengan Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sejak amandemen itu, partai politik menjadi satu-satunya penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini. Karena hanya partai politik yang bisa mengajukan dan menentukan calon presiden yang seharusnya dipilih oleh rakyat," ulas LaNyalla.
Oleh karena itu, LaNyalla mengajak publik untuk memikirkan masa depan Indonesia agar lebih baik, agar lebih cepat untuk dapat mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Kita harus berani melakukan koreksi. Dimana penentu wajah dan arah perjalanan bangsa ini tidak boleh kita serahkan tunggal kepada partai politik. Sebab, negara ini ada karena adanya rakyat. Dan tidak semua rakyat adalah anggota partai politik," beber LaNyalla.
Pada acara dengan tema 'Sumbangsih Pondok Pesantren Dalam Lahirnya NKRI', LaNyalla juga menjelaskan sebelum kemerdekaan, pondok pesantren adalah prototype dari masyarakat madani atau komunitas civil society.
Di era itu, pondok pesantren tidak hidup dari dana atau santunan yang diberikan penjajah. Tetapi hidup mandiri dari cocok tanam dengan semangat gotong royong santri dan masyarakat sekitar.
"Pondok pesantren juga sekaligus menjadi solusi bagi masyarakat sekitar. Ada yang sakit, minta doa ke kiai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok pesantren. Ada yang punya masalah, minta nasehat kiai dan seterusnya," kata dia.
Baca Juga
Peran para ulama dan kiai pengasuh pondok pesantren saat itu juga tidak bisa dihapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia.
"Termasuk peran para ulama dan kiai se-Nusantara dalam memberikan pendapat dan masukan kepada Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia," paparnya.
Sejarah juga mencatat lahirnya Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya.
"Ini artinya, peran dan kontribusi para ulama dan kiai dalam wajah sejarah lahirnya Indonesia bukanlah kecil. Bahkan sudah selayaknya disebut sebagai salah satu pemegang saham bangsa ini," tegas LaNyalla.
LaNyalla menilai peran pondok pesantren saat ini tidak kalah besar. Karena, pondok pesantren tetap menjadi prototype institusi masyarakat madani.
Dalam kesempatan itu LaNyalla menjelaskan juga bahwa Pancasila menempatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, karena memang watak dasar atau DNA asli bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan.
Menurut Bung Karno, nilai-nilai dari Pancasila sudah ada sejak era Kerajaan dan Kesultanan Nusantara. Bung Karno mengaku hanya menemukan dan menawarkan kepada bangsa ini sebagai 'way of life'.
Baca Juga
"Sekali lagi saya katakan bahwa watak dasar bangsa ini adalah bangsa yang berketuhanan. Sehingga sudah seharusnya, dalam mengatur kehidupan rakyatnya, negara harus berpegang pada kosmologi dan spirit Ketuhanan," ujarnya.
Dengan begitu, kebijakan apapun yang dibuat dan diputuskan wajib diletakkan dalam kerangka etis dan moral agama. Sehingga bila ada kebijakan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dan merugikan kebanyakan rakyat, apalagi membuat rakyat sengsara, maka jelas kebijakan tersebut telah melanggar kerangka etis dan moral agama. (Pon)