Ketika Sultan Iskandar Muda Angkat Senjata

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Rabu, 31 Oktober 2018
Ketika Sultan Iskandar Muda Angkat Senjata
Ilustrasi Perang Aceh. (Foto/Nederlandsekrijgsmacht)

SEJAK bangsa Portugis menduduki Malaka pada 1511, Kerajaan Islam Aceh merupakan pesaing terberat dalam perdagangan. Pelabuhan Aceh bertambah ramai. Perdagangan Asia berpusat di Negeri Serambi Mekah itu.

Namun, seiring berjalannya waktu, Portugis juga mengendus bahaya lain. Bukan lagi masalah perdagangan. Melainkan penyerangan terhadap Portugis.

Bangsa kolonial mulai khawatir bahwa sewaktu-waktu terjadi peperangan. Tak ayal, persaingan dagang antara Portugis dan Kerajaan Aceh semakin memanas. Pertempuran kerap terjadi di laut. Armada Portugis digempur patroli-patroli angkatan laut Aceh.

Memasuki pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1639) armada kekuatan Aceh telah disiapkan untuk menyerang kedudukan Portugis di Malaka. Saat itu, Aceh telah memiliki armada laut yang mampu mengangkut ratusan prajurit.

Pada saat itu wilayah Kerajaan Aceh telah sampai di Asumatera Timur dan Sumatera Barat. Pada 1629 Aceh mencoba menaklukkan Portugis. Namun gagal. Kerajaan Aceh belum berhasil memetik kemenangan. Meski demikian, Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka. Portugis belum berani menjajah.

Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh mengungkapkan, untuk mempertahankan diri dari ancaman Portugis Kerajaan Aceh melakukan beberapa upaya. "Di antaranya menjadlin hubungan dengan Turki, Persia, dan Gujarat. Aceh juga mendapat bantuan berupa kapal, prajurit, dan makanan dari berbagai pedagang muslim," tulis Lombard.

Pertikaian antara Aceh dan Portugis berlangsung lama. Sultan Iskandar Muda bahkan, tulis Lombard, menyerukan jihad bagi masyarakat Aceh untuk melawan penindasan. "Memantik semangat juang rakyat Aceh. Pertempuran besar kerap terjadi. Tidak hanya di darat, di lautan pun armada kedua belah pihak kerap bertempur."

Meski demikian, peta kekuatan Aceh dan Portugis sama-sama hebat. Kemudian, pada 1629 Aceh kembali menggempur Portugis di Malaka. Sebanyak 19.000 prajurit disiapkan.

Pertempuran sengit tak terelakkan. Perang hebat kembali terjadi. Sayangnya, Kerajaan Aceh menemui kegagalan. Portugis menang. Sampai pada akhirnya, tahun 1641 Malaka jatuh ke tangan Perusahaan Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC).

Mulanya, kolonial Belanda bermaksud membuat Malaka menjadi pelabuhan yang ramai dan ingin menghidupkan kembali kegiatan perdagangan seperti yang pernah dialami Malaka pada masa sebelumnya.

Namun, janji tinggallah janji. Setelah Sultan Iskanda Muda wafat, Kerajaan Aceh mengalami kemunduran. Ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Safiatuddin (1641-1675), Aceh tidak bisa mempertahankan kedaulatannya. Penindasan kolonial kian merajalela.

#Kerajaan Aceh
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan