Laporan Khusus Jenderal Soedirman

Ketika Soedirman Kepincut Merdeka 100 Persen Tan Malaka (12)

Yudi Anugrah NugrohoYudi Anugrah Nugroho - Rabu, 31 Januari 2018
Ketika Soedirman Kepincut Merdeka 100 Persen Tan Malaka (12)
Kedatangan Jenderal Soedirman disambut para pejuang.

SETELAH terpilih sebagai Panglima Besar TKR, Soedirman mulai memenuhi tugasnya sebagai pemimpin angkatan perang. Dia berbagi tugas dengan Oerip Sumohardjo. Oerip -hasil didikan KNIL (Koninklijk Nederlandsce Indische Leger)- sebagai Kepala Staf Oemoem (KSO) mengurusi masalah teknis kemiliteran. Sementara Soedirman, mengabdikan diri pada persoalan politik untuk mempersatukan angkatan darat dan memberi visi kepada segenap pasukan dalam era revolusi.

Dua bulan setelah menjabat panglima besar, Januari 1946, dia mendapat undangan ke Purwokerto, Jawa Tengah, untuk mengikuti pertemuan. Bukan pertemuan biasa. Terlebih sebuah vergadering menghadirkan para perwakilan laskar perjuangan.

“Tidak ada siaran pers. Semua hadir mendapat undangan pribadi atau melalui organisasi yang diwakilinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946.

Pertemuan besar dengan ketua penyelenggara Sastro Suwirjo dan sekretarisnya Sukarni, dihelat dua hari, 4-5 Januari 1946, di Gedung Serbaguna sekaligus gedung bioskop, kota Purwokerto.

Mereka semua berkumpul untuk merapatkan barisan dan membuat kesepakatan bersama mengenai arah perjuangan, ditambah lagi pusat pemerintahan RI sudah berpindah ke Yogyakarta dari Jakarta.

Pada hari pertama, masing-masing perwakilan laskar memberikan laporan mengenai situasi perang daerah masing-masing.

“Karena diplomasi pemerintah kita, maka perjuangan rakyat Surabaya yang tadinya sangat menguntungkan menjadi kurang menguntungkan karena musuh mendapat tempo menyusun tenaganya lebih kuat,” ujar Ismail dari Jawa Timur, seperti dikutip dari harian Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946.

Baca Juga: Strategi Perang 'Supit Urang' Jenderal Soedirman yang Bikin Pasukan Sekutu Kewalahan (11)

Baca Juga: Kericuhan Saat Pemilihan Panglima Besar, Soedirman Kalahkan Oerip Soemohardjo (10)

Baca Juga: Aksi Soedirman Melucuti Senjata Jepang Tanpa Kontak Senjata (9)

Intinya, semua perwakilan badan perjuangan kecewa terhadap sikap pemerintah nan mengedepankan diplomasi. Semangat juang semula membara seperti layu kembali.

Pada hari kedua, giliran Tan Malaka berpidato. Penampilan Tan, menurut Harry Poeze, merupakan kali pertama tampil di depan umum setelah 23 tahun bergerak di bawah tanah.

“Kita sedang bikin sejarah. Sejarah itu baru permulaannya, baru bab I, bab II akan kita bikin. Bisa kita tulis dengan tinta merah atau putih. Kita mesti punya organisasi yang teguh. Kalau semua ini paeda kita, kita yang akan bikin sejarah. Kalau tidak sejarah yang akan bikin kita, akan dikembalikan kita kedalam penjajahan,” tulis Harry Poeze.

Pertemuan tersebut menelurkan sebuah resolusi bersama. “Memutuskan: menolak semua status yang kurang dari 100% kemerdekaan seperti status dominion, gemenebest, autonomi, common-wealth ataupun trusteeship,” tulis Harry Poeze.

Setelah Tan berpidato, giliran Soedirman memberikan pernyataan siap membela kemerdekaan 100%.

“Saudara-saudara yang siap sedia membela kemerdekaan 100%! Saya sangat gembira akan dibentuknya volksfront. Tentara timbul tenggelam dengan negara. Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik di-atoom sama sekali daripada tak merdeka 100%,” ujar Soedirman, seperti dikutip dari harian Kedaulatan Rakjat, 6 Januari 1946.

Pernyataan Soedirman tersebut mencemaskan pemerintah. Keberpihakan Soedirman pada volksfront atau kemudian hari menjadi Persatuan Perjuangan (PP), merupakan bentuk penegasan tentang posisi tentara nan terlepas dari kuasa pemerintah dan kabinet.

“Soedirman tidak senang melihat perjuangan politik pemerintah dan oposisi yang mengorbankan persatuan. Di dalam PP ia melihat suatu alat untuk menemukan kembali persatuan itu,” tulis Poeze.

Jelang kongres pertama PP pada pertengahan Januari 1946, Tan sering bertandang ke rumah Soedirman. Di sana, mereka berbicara hingga berjam-jam mengenai perundingan Belanda dan Indonesia.

Soedirman Jaga Jarak

Meski nampak karib, Soedirman seperti menjaga jarak dengan Tan Malaka.

15 Januari 1946, Soedirman kembali diundang sebagai pembicara dalam kongres pertama Persatuan Perjuangan, di kota Solo, Jawa Tengah. Kongres berhasil merumuskan program kerja PP, kemudian disebut Minimum Program, berisi antara lain berunding atas pengakuan kemerdekaan 100% sesudah tentara asing meninggalkan laut Indonesia; pemerintah rakyat; tentara rakyat; melucuti tentara Jepang; mengurus tawanan bangsa Eropa; menyita dan menyelenggarakan pertanian; menyita dan menyelenggarakan industri.

Kongres tersebut, tulis Harry Poeze, berisi olok-olok dan cercaan kepada pemerintah dan tentara. Soedirman pun tersinggung. Dia pun meninggalkan arena kongre sebelum sempat mendengarkan pidato Tan Malaka.

Simpatinya kepada Tan Malaka mulai menurun. Soedirman juga menolak untuk duduk sebagai penasehat tetap PP. Di kesempatan lainnya, dalam sebuah pidato di tengah rapat besar Laskar Buruh Indonesia di Yogyakarta tahun 1946, Soedirman berhati-hati sekali dalam menyebut Persatuan Perjuangan. Dia tak ingin namanya terseret pada gerakan tersebut.

Soedirman dan Tan Malaka kembali bertemu pada 25 hingga 27 Februari 1946 di Magelang. Situasinya hampir sama dengan bulan sebelumnya: pertemuan seluruh laskar rakyat. Pada kesempatan itu, Soedirman kembali mengulangi pidato persis seperti di kongres pertama PP. Dia pun disambut penuh sorak dari para laskar.

Meski banyak orang, termasuk lawan politiknya seperti Sjahrir dan Amir Sjarifoedin, ragu terhadap loyalitas sang panglima besar, Soedirman tetap melaksanakan tugas utama panglima tentara: melindungi pemerintah sah.

Hal tersebut dibuktikan saat hari pertama rapat Komite Nasional Indonesia Pusat di Solo. Tak beberapa lama setelah sidang dibuka dan pemaparan dari Badan Pekerja, sidang diskors. Para undangan keluar dari ruangan dan menyaksikan sekira 250 anggota prajurut Tentara Republik Indonesia (TRI) yang baru kembali dari garis depan.

Di situ, beredar desas-desus mengenai gerakan-gerakan pasukan pro dan anti Sjahrir. Soedirman sudah tahu desas-desus tersebut. Dia pun meyakinkan Sukarno bahwa TRI sanggup mengatasi segala kemungkinan. Bahkan Sjahrir dan Amir Sjarifoedin mendapat pengawalan ketat.

“Mereka berdua dan kawan-kawan separtainya seperti tidak percaya dengan keselamatan mereka. Mereka semua meragukan loyalitas Soedirman yang ketika itu duduk bersama di podium,” tulis Harry A Poeze.

Sikapnya di siding KNIP membuktikan Soedirman tetap setia kepada pemerintah, meski pada awal pertemuan di Purwokerto ia tampak mendukung PP.

Perlahan dukungannya memudar karena dalam setiap kongres PP selalu dipenuhi celaan dan olok-olok kepada pemerintah dan tentara. Soedirman tidak bias menerima perlakuan tersebut.

“Bagi Soedirman yang selalu tampil demi kehormatan tentara tentu saja hal itu tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya di sidang KNIP imbangan kekuatan pada akhirnya dipastikan bagi pemerintah,” catat Harry A Poeze. (*) Vishal Rand

#Lapsus Jenderal Soedirman
Bagikan
Bagikan