Ramadan 2018

Kisah Perjuangan WNI Berpuasa 19 Jam di Swedia, Terkadang Sepulang Tarawih Langsung Sahur

Dwi AstariniDwi Astarini - Selasa, 22 Mei 2018
Kisah Perjuangan WNI Berpuasa 19 Jam di Swedia, Terkadang Sepulang Tarawih Langsung Sahur
Kota Helsingborg di Swedia. (foto: interkultur)

TERKADANG kita lupa mensyukuri nikmat dan kemudahan yang datang setiap hari. Nikmat dan kemudahan itu tak selalu berbentuk materi memang. Seperti misalnya nikmatnya berpuasa di Tanah Air. Hidup di negara dengan mayoritas penduduk pemeluk Islam membuat muslim bisa menjalankan saum dengan nikmat dan keleluasaan.

Sebagai contoh, saat masuk bulan puasa, umat muslim dapat pulang lebih cepat untuk berbuka di rumah. Di beberapa kantor, sering kali digelar pengajian dan siraman rohani setiap zuhur. Selain itu, durasi berpuasa di Indonesia juga terbilang tidak terlalu panjang, 13 jam 2 menit. Umat muslim mulai berpuasa pada pukul 04.45 lalu berbuka pukul 17.47. Salat isya dan tarawaih umumnya sudah bisa diselesaikan pukul 22.00. Dengan begitu, muslim Tanah Air punya waktu yang cukup panjang antara waktu berbuka dan sahur. Selain itu, menikmati sahur pun bisa dengan tenang karena rentang waktu yang cukup panjang itu.

"Hal-hal tersebut mungkin hal kecil, tapi sangat berarti apabila jauh dari kampung halaman," ujar Marlodieka, seorang muslim WNI yang tengah menempuh studi di Kota Helsingborg, Swedia, ketika dihubungi Merahputih.com via pesan Whatsapp, Senin (20/5). Marlo, demikian ia biasa disapa, mengaku tidak pernah menyadari betapa nikmatnya berpuasa di Indonesia sebelum ia benar-benar merasakan puasa di luar negeri.

Ia menyebut semua suasana khas Ramadan di Indonesia enggak mungkin ia rasakan selama tinggal di Swedia. Tidak mengherankan jika ia kerap rindu untuk bisa kembali berpuasa di Indonesia, itu jadi sesuatu yang ia sadari dan syukuri. "Jangan karena menganggap hal itu wajar dan sudah semestinya, jadi taken for granted. Padahal kalau kita sadari, sungguh besar nikmat tersebut," jelasnya.

Berpuasa di negara yang notabene Islam merupakan minoritas pastilah amat berbeda. Tak hanya dari segi budaya serta adat istiadatnya, tapi juga waktu. Di Swedia, terutama pada musim semi menjelang musim panas seperti saat ini, durasi berpuasa pasti lebih lama dan memerlukan penyesuaian. Di negara Nordik itu, azan magrib berkumandang kurang lebih sekitar pukul 21.30 waktu setempat. Sementara itu, panggilan subuh terbit pada 03.15. Jika dihitung, jarak antara berbuka dan bersiap untuk sahur hanya 5 jam. Hal itu amat berbeda dengan durasi di Tanah Air yang mencapai 8 jam.

Marlodieka (dua dari kiri) berkumpul bersama kawan WNI. (foto: istimewa)

Tantangan belum berhenti di sana, saat umat muslim di Helsingborg berbuka, rata-rata rumah makan sudah tutup. Mereka biasanya tutup sekitar pukul 19.00-20.00. Dengan begitu, penting untuk bersiap membeli makanan dulu sebelum jam berbuka atau sekalian saja memasak sendiri. "Kadang kala di masjid juga disediakan iftar pada saat magrib. Jadi apabila enggak sempat masak, datang saja ke masjid pasti ada makanan berbuka puasa," ujar Marlo.

Nikmat lain dari berpuasa di Tanah Air ialah keleluasaan untuk menjalankan ibadah. Di Helsingborg yang bukan kota besar, tidak ada masjid besar. Mahasiswa Lund University itu bercerita ia biasanya menjalankan tarawih serta salat isya sekitar pukul 23.00 hingga selesai pukul 24.00. Terkadang, sepulang tarawih, ia langsung menyantap sahur. Jika tidak demikian, ia harus bangun pukul 02.00 untuk bersiap santap sahur, karena subuh dimulai pada pukul 03.15. Dengan waktu yang cukup terbatas, otomatis jam tidur pun amat berkurang. Marlo yang telah dua tahun tinggal di Swedia mengaku menyiasatinya dengan tidur di sela-sela waktu tarawih hingga sahur. "Kadang-kadang, kalau sudah cukup tidur di siang hari, malamnya enggak tidur lagi, langsung sahur dan tidur sehabis salat subuh," ujarnya. Sementara itu, untuk sajian sahur, ia harus menyiapkan sendiri sebelumnya agar lebih mudah dan cepat sehingga tidak memakan waktu ibadah.

Meskipun durasi berpuasa cukup panjang, Marlo mengaku enggak pernah merasa haus dan lapar. Pasalnya, udara di sana enggak selembap di Indonesia yang panasnya berasa terik. "Kalau di Swedia panas, tapi anginnya tetap dingin jadi enggak terlalu cepat bikin capai," imbuhnya.

Area waterfront Helsingborg yang sejuk. (foto: flickr)

Kesejukan iklim Swedia sejalan dengan sikap toleran warganya terhadap para pemeluk Islam.
Swedia sendiri merupakan negara yang sangat toleran dengan orang lain. Tidak mengherankan jika banyak pengungsi dari Timur Tengah, seperti Suriah, Irak, dan Palestina, yang mengungsi ke Swedia, baik karena konflik maupun hal lainnya. Jadi secara umum masyarakat Swedia tidak pernah menghalangi atau mengganggu umat muslim yang berpuasa. Mereka merasa hal itu biasa aja. Toleransi yang ditawarkan warga Swedia itu pun haruslah disambut umat muslim dengan mematuhi aturan yang berlaku. Semisal azan tidak dikumdangkan dengan pelantang, karena gereja di sana pun tidak memakai bel khusus untuk umat Kristen.

Walaupun warga setempat menerima dan mengerti warga muslim yang berpuasa, hal itu tak serta-merta bikin saum berjalan tanpa godaan. Marlo menyebut godaannya bahkan terbilang cukup besar, mengingat aktivitas berjalan seperti biasa. Tak ada nuansa Ramadan seperti di Tanah Air. Kantin kampus dan restoran tetap buka seperti biasa. "Terkadang saat belajar di kelas, perut bunyi keroncongan agak kencang. Untungnya, teman-teman sudah paham bahwa saya sedang berpuasa," kisahnya. Tak hanya paham, kawan-kawannya bahkan kaget dan terheran bahwa ia bisa tahan tanpa makan dan minum dalam waktu sepanjang itu. Mungkin, kata Marlo, mereka khawatir jika ia jatuh pingsan.


Beruntung, kerinduan akan suasana Ramadan Tanah Air bisa sedikit terobati dengan acara kumpul-kumpul yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia. Mereka biasanya menggelar acara buka bersama. Bukber yang digelar sekali sepanjang Ramadan itu dimulai agak malam dan berlanjut hingga waktu sahur. Terkadang, KBRI juga mengadakan acara berbuka puasa. Namun, itu khusus bagi WNI tinggal di daerah Stockholm dan sekitarnya. "Mahasiwa yang berada di bagian selatan Swedia, seperti Helsingborg ini, cukup jauh ke Stockholm. Jadi kami lebih sering buka puasa secara inisiatif," ujarnya.

Bersama-sama kawan sesama WNI berbuka puasa. (foto: istimewa)

Sebagai pengobat rindu, saat berbuka, Marlo dan kawan-kawan akan memasak menu makanan khas Indonesia, seperti pisang goreng, tempe, tahu, dan sayur tumis. Di salah satu negara Skandinavia itu, harga daging sapi lebih murah ketimbang harga tempe ataupun tahu. Selain itu, menemukan daging halal di Swedia cukup mudah, seperti di wilayah Malmo, Lund, atau Helsingborg. "Enggak ada makanan khusus. Yang pasti yang mudah dibawa dan dimasak karena enggak semua bahan-bahan untuk masak makanan Indonesia tersedia di sini," jelasnya.

Segala keterbatasan dan perbedaan suasana selama Ramadan itulah yang menerbitkan rasa syukur. Hal itu membuatnya menyadari betapa muslim di Indonesia diberi banyak keistimewaan dan kenikmatan untuk menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk dan khidmat. "Buat aku, itu sesuatu yang harus selalu ingat untuk kita syukuri secara terus-menerus selama menjalankan puasa di bulan Ramadan," ujar Marlo yang telah tinggal di Helsingborg sejak 2016 lalu.(dwi)

Baca juga artikel lain tentang Ramadan 2018 di sini.

Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan