INFLUENCER sekarang menjadi salah satu jalur karier yang paling diinginkan baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Morning Consult menemukan bahwa 54 persen warga AS berusia 13 hingga 38 tahun mau menjadi influencer jika diberi kesempatan.
Sementara, penelitian Harris Poll terhadap 3 ribu anak menemukan bahwa di AS dan Inggris, jika memilih antara guru, atlet profesional , seorang musisi, astronot, atau YouTuber, hampir 30 persen menempatkan YouTuber sebagai pilihan utama mereka.
Baca Juga:
Manfaat Positif Sentuhan Fisik Setiap Hari Agar Anak Merasa Damai

Namun, banyak orangtua merasa tidak nyaman dengan pilihan anak-anak mereka itu. Ada yang beralasan tidak enak harus memonetisasi anak. Selain itu, mereka juga tidak ingin membuat jejak digital yang tidak dapat dihapus. Belum lagi mengenai data digital yang dapat mengumpan lebih banyak informasi kepada perusahaan besar seperti Google atau Facebook tentang anak-anak mereka.
Salah satu orangtua yang tidak senang dengan pilihan anaknya untuk menjadi influencer adalah seorang profesor media baru Benjamin Burroughs di Universitas Nevada Las Vegas. Dia mulai mempelajari dunia anak-anak influencer yang menarik, menguntungkan, dan terkadang dipertanyakan secara etis.
Lalu, di manakah garis antara membuat keputusan yang aman, terinformasi dan menghancurkan impian anak?
“Di satu sisi, orangtua bisa bertanya, ‘Mengapa saya harus menahan kreativitas anak saya? Mereka ingin berbagi sesuatu dengan dunia,’ tapi kemudian ketika itu menjadi pekerjaan, di situlah hal itu menjadi area abu-abu,” kata Burroughs seperti diberitakan Vox.
Baca Juga:

Mengatur strategi dan memberi pengertian
Dia merekomendasikan untuk memikirkan paparan seperti apa yang ingin kamu dan anak hadapi dan kemudian mengatur strategi. “Apakah wajah anak itu akan ada di kamera? Apakah mereka melakukan sulih suara? Apakah kamu menampilkan pekerjaan yang telah mereka lakukan, seperti animasi? Saya akan menempatkan ini dalam kategori yang berbeda,” katanya.
Meskipun begitu banyak anak yang ingin menjadi influencer, akan ada banyak tantangan berat yang harus dihadapi bukan hanya dari dunia digital yang maha luas. Teman sebayanya yang memiliki cita-cita sama akan memiliki ekspektasi tinggi jika ada teman lain yang memilih menjadi influencer.
Baik itu kepada influencer populer atau tidak, ada komentar yang datang secara konstan tak terelakkan, baik daring maupun luring.
Sebaiknya, orangtua calon influencer memastikan bahwa anak-anak mereka tidak berpikir akan langsung menjadi terkenal. Atau, jika mereka pun terkenal, hal itu tidak akan bertahan selamanya.
Bahkan jika mereka benar-benar mendapatkan jackpot algoritmik, penting agar influencer tidak menjadi profesi seumur hidup anak-anak. Profesi tersebut menjadi semakin kompetitif dengan ruang yang makin sempit
Ketika mahasiswa baru Burroughs memasuki ruang kelas, banyak dari mereka mengatakan bahwa mereka ingin menjadi pemberi pengaruh. Tertarik oleh gaya hidup menguntungkan yang dibayangkan untuk bersenang-senang, membuat jadwal sendiri, dan mendapatkan barang gratis.
Namun, satu analisis tahun 2018 menunjukkan bahwa 85 persen lalu lintas YouTube masuk ke hanya tiga persen kanalnya, dan lebih dari 96 persen YouTuber berpenghasilan kurang dari garis kemiskinan federal AS.
Sekalipun uang bukanlah motivasi, wajar jika anak-anak akan mengidentifikasi dan mengidolakan seorang anak yang mirip dengan mereka, bermain dengan mainan di layar.
Burroughs memperingatkan bahwa terlalu mengidentifikasi diri dengan influencer dapat membuat anak-anak memiliki ekspektasi yang salah tentang seperti apa kehidupan nyata itu.
Orangtua harus berbicara dengan anak-anak mereka untuk membantu mereka menyadari bahwa mereka sedang melihat iklan pemasaran melalui influencer. Jangan sampai kehidupan influencer yang terus-menerus membuka mainan sepanjang hari, misalnya, dianggap sebagai kehidupan anak-anak yang normal. (aru)
Baca Juga:
Olahraga Bantu Kembangkan Karakter Sosial dan Keterampilan Anak