Kesehatan Mental

Keseringan Minta Maaf, Situ Sehat?

Dwi AstariniDwi Astarini - Jumat, 07 Mei 2021
Keseringan Minta Maaf, Situ Sehat?
Terlalu banyak meminta maaf bisa jadi bumerang. (foto: pixabay/ITECHirfan)

SEBAGAI orang yang enggak enakan, aing—dan mungkin banyak warga di negeri aing—kerap menambahkan kata ‘maaf’ saat mau minta tolong. Misal nih, saat makan bareng teman, saya bisa spontan bilang, “Eh, maaf, tolong ambilin kecapnya dong." Kamu juga pasti sesekali begitu kan?

Kalimat kayak begitu sih kayaknya jadi template warga negeri aing yang punya karakter serbasungkan. Contoh paling nempel ialah karakter Mpok Minah di sitkom Bajaj Bajuri. Si Mpok yang lugu itu selalu memulai kalimat dengan kata ‘maaf’. Mau minta tolong kek, hendak belanja di warung kek, mau sekadar tanya karena kepo kek, bahkan saat mau ghibah aja nih, si Mpok juga minta maaf duluan. Lah, emang salahnya di mana ya? Kan minta maaf itu baik?

BACA JUGA:

Profesi Paling Sering 'Minta Maaf', dari Kasir Minimarket sampai Polantas

Well, not really. That is not always the case. Memang meminta maaf, mengatakan ‘tolong’, dan mengucapkan ‘terima kasih’ merupakan tiga hal yang wajib kamu lontarkan sebagai manusia baik. Namun, meminta maaf berlebih bisa jadi sebuah bumerang.

Terlalu sering mengucapkan kata ‘maaf’ bisa menjadi sebuah siklus buruk. Psikolog Justine G Grosso, dikutip Bestoflifeonline, mengatakan terlalu sering meminta maaf merupakan kebiasaan dalam diri yang berakar pada sifat rendah diri, perfeksionisme, dan takut akan kehilangan hubungan.

Banyak tanda-tanda yang menyiratkan kamu sebagai orang yang over-apologizing. Meminta maaf sebelum meminta tolong merupakan salah satu tandanya. Courtney Crisp, MA, seorang terapist berbasis di California, AS, mengatakan meminta tolong sudah pasti tak membutuhkan permintaan maaf. “Mungkin karena kekhawatiran menyita waktu atau merepotkan orang lain,” kata Crisp.

Padahal kan ya, logikanya, kalau mau minta tolong, ya sudah sih, tinggal bilang, ‘tolong’. Ya kan?

Mpok Minah si Ratu Meminta Maaf. (Foto: facebook/cintaku.ade)

Kekhawatiran menyusahkan orang lain, seperti kata Crisp, bisa jadi disebabkan betapa kamu memandang rendah diri sendiri. Semacam kurang percaya diri. Tak dimungkiri, mereka yang kurang percaya diri memang cenderung meminta maaf lebih sering. “Mereka berpikir selalu melakukan kesalahan di setiap langkah. Jadi meminta maaf menjadi cara untuk mengurangi rasa bersalah. Padahal, mereka tak selalu salah,” kata psikoterapis Karen Koening, seperti dilansir Bestoflifeonline.

Ya, benar banget. Orang yang meminta maaf berlebih akan meminta maaf atas hal-hal yang sebenarnya tak perlu mereka pertanggungjawabkan. Sebagai contoh nih, meminta maaf saat bersin di sebelah teman, menabrak orang lain di tengah kerumunan yang padat, atau bahkan ketika malah meminta maaf atas kesalahan atasan di tempat kerja hanya karena merasa ‘senior’ tak pernah salah. Oh, it’s a big no no!

Meminta maaf di saat yang tepat

meminta maaf
Meminta maaf di saat yang tepat dan tulus. (foto: unsplash/gus moretta)

Meski demikian, bukan berarti kamu enggak boleh meminta maaf. Sudah pasti boleh banget. Cuma nih, kamu harus tahu banget kapan saat tepat untuk meminta maaf. Terlalu sering meminta maaf, sekali lagi, bisa merugikanmu.

Selain membuatmu merasa amat rendah diri, meminta maaf berlebih bisa menihilkan rasa hormat orang lain terhadapmu. Psikoterapis Beverly Engel dalam bukunya, The Power of an Apology, seperti dilansir CNBC, mengatakan meminta maaf mungkin membuatmu terlihat manis dan peduli, padahal sebenarnya kamu sedang mengirim pesan bahwa kamu kurang percaya diri dan enggak penting. “Itu bisa memberi peluang bagi orang lain untuk memperlakukanmu dengan buruk. Bahkan cenderung abusif,” tegas Engel.

BACA JUGA:

Mpok Minah 'The Queen' of Minta Maaf

Lebih jauh, permintaan maaf berulang akan mengurangi nilai maaf ketika situasi menjadi benar-benar sulit. Terlebih, hal itu bisa jadi amat mengganggu. Sebuah study di jurnal Frontiers of Psychology menyebut kata ‘maaf’ bahkan acap digunakan saat menolak seseorang, membatalkan rencana, hingga memutuskan kekasih. Alih-alih menjadi ungkapan tulus, hal itu hanya membuat orang lain menjadi merasa lebih buruk. “Mereka harus memaafkan si penolak bahkan saat mereka belum siap kecewa,” kata penulis studi Gili Freedman.

Oleh karena itu, menakar kapan meminta maaf dan kapan harus diam amatlah penting. Mungkin akan susah diawali—terlebih buat tipe orang enggak enakan—tapi kamu bisa melakukan tahap demi tahap.

Hal pertama yang harus dilakukan ialah menyadari apakah kamu merupakan orang dengan ‘hujan kata maaf’. Jika iya, identifikasi dalam situasi apa kamu acap meminta maaf. Ubah kebiasaan itu. Alihkan ucapan maaf ke kata lain, semisal ‘tolong’ atau ‘terima kasih’.

Setelah itu, kamu harus menyadari bahwa kamu tak bisa mengontrol situasi. Ada kalanya kamu membuat kesalahan. Saat membuat kesalahan, akui itu. Meskipun tak mudah, itu akan menguatkan hubunganmu dengan orang lain. Meski begitu, berhentilah meminta maaf untuk hal-hal yang remeh. Semisal, kamu salah mengeja dan rekan kerja mengkritik. Meminta maaf bisa amat mengesalkan. Cobalah untuk membailkkan skenario. Daripada bilang, ‘maaf’ sampaikan ‘terima kasih’ karena telah mengoreksi kesalahan yang kamu buat. Tetap sopan kan?

Hal yang tak kalah penting untuk dilakukan ialah belajar untuk mengatakan ‘tidak’. Menolak, bagi orang yang serbasungkan, bisa jadi amat menantang. Padahal, itu cuma sesimpel bilang ‘tidak’. Jika kamu tipe orang yang sulit menolak, mulailah berlatih dari sekarang. Tak salah kok menolak ajakan kencan dari orang yang tak kamu suka. Juga enggak kurang ajar kok jika kamu menolak mengakui kesalahan senior. Ingatlah, penolakan itu bukan berarti kamu jahat, melainkan cara terbaik untuk melindungi diri.(dwi)

#Mei Negeri Aing Maaf-maafan #Kesehatan Mental
Bagikan
Ditulis Oleh

Dwi Astarini

Love to read, enjoy writing, and so in to music.
Bagikan