BABY blues dan post partum depression merupakan masalah nyata yang dihadapi para ibu. Jika tak lekas ditangani, hal itu bisa membawa dampak yang lebih buruk bagi ibu dan bayi. Meski demikian, penanganannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di Indonesia, tidak semua ibu cukup beruntung untuk mendapat penanganan dari pakar.
Kondisi itu diperparah stigma terhadap ibu muda. Sebagai contoh, di masyarakat Bali, para ibu dituntut selalu kuat dan tidak boleh cengeng terutama setelah menghadapi persalinan.
BACA JUGA:
Berawal dari Penyintas Postpatrum Depresi, Nur Yana Yirah Berhasil Mendirikan Mother Hope Indonesia
Tidak kalah menyedihkan, para perempuan yang tinggal di pedalaman Kalimantan Selatan yang juga merasakan pahitnya tuntutan di tengah letihnya kondisi setelah melahirkan. Koordinator Motherhope di wilayah Kalimantan Selatan, Voni Candra, mengungkapkan lebih dari 10 ibu yang baru melahirkan mengalami tekanan di dalam rumah.
"Adat di daerah yang lebih dalam masih sangat kental. Mereka yang tinggal sama mertua mendapat banyak tuntutan. Hal tersebut membuat kondisi kejiwaan menurun dan berpengaruh pada kehamilan," ungkapnya dalam acara Accelerator Community Lebih Dekat dengan Ibu yang digelar daring, Rabu (2/12).

Menurutnya, para ibu muda lebih banyak mengurung diri. Stres dan mengurung diri membuat para ibu muda ini kerap mengalami kontraksi di awal bulan. "Kehamilannya harus dipantau terus," ujar Voni.
Lain lagi dengan tantangan yang dihadapi ibu di wilayah Sukorejo. Mereka akan mendapat label dari masyarakat setempat jika menampakkan gejala post partum syndrome atau baby blues. "Masyarakat masih meyakini bahwa yang mengalami depresi hanya yang lemah iman atau kurang bersyukur. Para ibu muda pun menjadi malu dan tidak berani mengungkapkan bahwa ia mengalami post partum syndrome atau baby blues," tutur koordinator Motherhope Sukorejo Leila Nisya Ayuanda.
Belum lagi stigma dan tuntutan yang dialami perempuan Indonesia di wilayah lainnya. Ada yang mendapat cibiran dari ibu sendiri karena tidak bisa setangguh sang ibu saat melahirkan dulu. Ada pula yang mendapat komentar negatif dari tetangga.
Lalu bagaimanakah cara para bidan dan relawan Motherhope membantu para ibu keluar dari lingkaran setan bernama stigma? "Supaya tidak jatuh dalam depresi, mereka harus tetap dapat penanganan," ujar koordinator Motherhope di wilayah Bali dr Prahesti Utami.
Supaya lebih efektif, perempuan yang akrab disapa dokter Hesti tersebut melibatkan tokoh masyarakat setempat. "Mereka lebih masuk dengan orang asli daripada orang asing. Untuk itu, kami coba mengedukasi dengan mengajak bidan yang asli sana," jelasnya.

Hal serupa juga dilakukan relawan Motherhope regional Jakarta dan sekitarnya. Koordinator Motherhope Jakarta, Ariny, mengatakan ia dan timnya akan merangkul ibu kader di wilayah setempat. Menurutnya, ibu kader merupakan bantuan yang sangat besar. Mereka lebih bisa menjangkau warga.
"Apalagi biasanya bu kader itu seumuran dengan orangtua para ibu muda. Jadi bisa lebih klop. Keluarga bisa diedukasi tentang post partum syndrome," ucapnya.
Jika koordinator wilayah Bali dan Jakarta merasa menggandeng tokoh masyarakat menjadi cara efektif, koordinator Motherhope wilayah lainnya lebih percaya pada kunjungan langsung atau home visit.
"Ketika home visit, sekali kunjungan bisa kena orang serumah. Jadi lebih mudah," tutur relawan Motherhope Efi Safitri. Ia menggunakan strategi analogi agar bisa dicerna orangtua dari ibu muda.
"Ketika kami analogikan dengan diri mereka sendiri misalnya pengalaman awal menyusui, mereka menemukan jawabannya sendiri. Yang awalnya kontra menjadi mendukung," lanjutnya.
Senada dengan Efi, Leila juga menilai dengan kunjungan ke rumah, para bidan bisa melihat pandangan kakek nenek. "Kalau demikian, kami lebih bisa intervensi ke ranah lingkungan keluarga," ucapnya.
Sementara itu, relawan Motherhope lainnya, Agustina Wanisari Rahutami, mengatakan pasien memiliki kesadaran yang tinggi akan fenomena baby blues atau post partum syndrome. "Mereka familier dengan baby blues dan post partum syndrome," imbuhnya.
Selain itu, kesadaran para ibu untuk mencari tahu di internet membuat proses edukasi berjalan lebih mudah. "Mereka semangat sekali untuk belajar dan mencari tahu," tukasnya.(Avia)