Kenang Bencana 2004, Nelayan Aceh Tetapkan Hal Ini sebagai 'Keramat'

Noer ArdiansjahNoer Ardiansjah - Rabu, 27 Desember 2017
Kenang Bencana 2004, Nelayan Aceh Tetapkan Hal Ini sebagai 'Keramat'
Ilustrasi nelayan tradisional. (MP/Rizki FItrianto)

MerahPutih.com - Mengenang peristiwa memilukan; gempa bumi dan tsunami 2004 silam, para nelayan di Kabupaten Aceh Barat, Aceh menetapkan beberapa pantangan yang 'dikeramatkan' oleh masyarakat setempat.

Tokoh nelayan Lhok (wilayah) Padang Seurahet Hamzah mengatakan, karena momentum peringatan 13 tahun bencana tersebut, suasana pantang (dilarang) melaut akan terus dilakukan.

Menurutnya, sudah menjadi hukum adat untuk beberapa tanggal yang ditentukan adalah hari pantang melaut, artinya nelayan dikenakan sanksi adat apabila tetap melaut.

"Tidak patut apabila kita tidak menghormati hari pantang melaut, mengingat dahsyatnya bencana melanda pesisir pada tanggal itu. Pantang melaut terhitung sejak tanggal 25, 26, dan 27 Desember, setiap tahun tiga hari itu libur untuk menghormati syuhada," kata Hamzah, seperti yang dikutip dari Antara di Meulaboh, Rabu (27/12).

Terlebih, kata Hamzah, mereka adalah masyarakat yang pernah tinggal di bibir pantai Desa Padang Seurahet, Kecamatan Johan Pahlawan, walaupun kini permukiman tersebut sudah ditinggalkan karena tidak ada rumah-rumah penduduk, namun tidak pernah sepi aktivitas.

Nelayan tetap menjadikan lokasi tersebut sebagai daerah penambatan armada kapal motor setelah bongkar muatan maupun ketika saat libur melaut, apalagi di kawasan setempat sudah tersedia satu unit stasiun pengisian bahan bakar nelayan.

Hamzah menuturkan, satu hal yang tidak bisa mereka tinggalkan adalah bangunan masjid tua sisa tsunami 2004 silam, Masjid Baitil Atiq tersebut masih berdiri kokoh meski sudah pernah dihempas tsunami dan tidak hancur porak-poranda pada saat itu.

"Kemarin (Selasa) kami mengadakan kenduri peringatan 13 tahun gempa dan tsunami di Masjid Baitil Atiq semua yang berasal dari sini datang. Kami berencana membangun kembali masjid ini walaupun sudah tidak bermukim di Padang Seurahet," katanya.

Di lokasi Masjid Baitil Atiq tersebut, juga sudah mereka bangun satu monumen sejarah 'Kulah air wudhu' yang berbentuk gelombang tsunami serta jam dinding menunjukkan keterangan waktu pukul 08.30 WIB yang merupakan saat-saat pertama tsunami datang.

Permukiman desa mereka adalah kawasan terparah yang sapu tsunami 13 tahun lalu, karena keberadaannya di bibir pantai dengan jumlah korban penduduk desa yang hilang dan meningal terdata pada dinding monumen tersebut berjumlah 376 jiwa.

Karena itu, sebut Hamzah, hingga kini masjid Baitil Attiq itu, dipercaya sebagai salah satu tempat ibadah yang memiliki kelebihan, banyak nelayan melepas nazar mereka di masjid tersebut apabila berhasil mendapatkan tangkapan ikan yang berlimpah.

Permukiman tersebut juga menjadi lokasi pelaksanaan ritual adat kenduri laot atau kenduri adat laut Aceh nelayan di daerah setempat, dengan demikian permukiman itu tetap menjadi kampung mereka walaupun mereka sudah tinggal di sana.

"Kenduri laut juga kami adakan di sini, banyak saudara-saudara kami yang meninggal saat tsunami di desa ini. Tidak mudah melupakan tsunami dan desa ini sebagai saksi sejarah untuk wisatawan berkunjung ke Aceh Barat," katanya. (*)

#Nelayan Tidak Melaut #Aceh
Bagikan
Ditulis Oleh

Noer Ardiansjah

Tukang sulap.
Bagikan