Kematian Haringga dan Beberapa Pelajaran dari Ultras di Eropa

Thomas KukuhThomas Kukuh - Selasa, 25 September 2018
Kematian Haringga dan Beberapa Pelajaran dari Ultras di Eropa
Ilustrasi Ultras. (realclobber.com)

SIAPAPUN yang menyaksikan pembantaian Haringga Sirila yang di media sosial pasti sangat sedih. Miris. Mengerikan. Bikin mual. Meski sudah tak berdaya, pemuda 23 tahun itu tetap dihajar membabi-buta. Akhirnya tiada.

Para pelaku seolah tak punya dosa. Seakan membantai dengan bahagia. Jika kebuasan itu penyebabnya dari fanatisme berlebihan, sebaiknya para suporter Tanah Air perlu lebih banyak belajar dari kultur Ultras di Eropa.

Menurut berbagai sumber, kelompok Torcida Split, pendukung Hadjuk Split, merupakan ultras terorganisasi pertama. Tapi, banyak juga yang menyebut Italia sebagai rumah dari paham tersebut. Muncul pada awal tahun 1950-an.

Secara garis besar, ultras adalah sekumpulan suporter yang memiliki tujuan: mengintimidasi lawan plus memberikan dukungan kepada tim. Yang dilakukannya dengan berbagai cara.

Ultras Paris Saint-Germain misalnya. Mereka pernah mendatangi hotel tempat pemain Real Madrid menginap. Hanya untuk membuat para penggawa El Real tak bisa tidur. Bernyanyi keras sepanjang malam dan menyalakan flare.

Ultras

Cara lain yang sering dilakukan adalah dengan membuat koreografi. Contohnya, pada derby Della Madonnina. Yang mempertemukan Inter Milan kontra AC Milan. Seperti diketahui, dua klub ini memiliki rivalitas tinggi. Pertemuan kedua tim selalu berlangung panas.

Di dalam stadion, suporter menampilkan koreografi yang melibatkan sebagian besar isi stadion. Koreografinya tak main-main. Koreografi yang menoror musuh. Yang bikin merinding.

Banyak tim-tim eropa yang memiliki koreografi gila. Biasanya tim-tim besar dari Italia, Jerman, Turki dan lainnya.

Ultras juga bernyanyi sepanjang laga. Mereka seolah-olah ikut bertanding. Dengan terus meneriakan nyanyian yang membakar semangat.

Bagi Anda yang pernah melihat langsung bagaimana ultras beraksi di tribun, mereka seperti menyajikan seni bak Mozart dan Beethoven yang tengah bermain dalam sebuah orkestra. Indah. Memang tak semua. Ada yang terkesan berlebihan. Namun gegap gempita dan semangat yang ditimbulkan masih berada dalam benang merah yang sama.

Layaknya orkestra, ultras tak asal nyanyi. Mereka mengikuti perintah pemimpin. Bekennya disebut "Capo".

Capo berdiri di barisan paling depan. Dengan gagah memberi perintah para ultras. Mereka berinteraksi mirip konduktor dan pemain musik dalam sebuah pertunjukan orkestra.

Beberapa alat musik juga kerap hadir di tribun. Di antaranya drum dan trompet. Dengan tabuhan drum, syair lagu yang dilantunkan kian terasa bersemangat. Adapun, trompet menghadirkan unsur simfoni ke dalam stadion.

Ultras

Capo juga berperan untuk memimpin gerakan yang dilakukan ketika bernyanyi. Contohnya, tepuk tangan atau melompat sambil membelakangi stadion yang lazim disebut The Poznan.

Dalam menyanyikan sebuah lagu, ultras biasanya punya beberapa cara. Pertama dan paling sering dilakukan adalah mengikuti apa yang dinyanyikan capo. Pada cara tersebut, Capo terlebih dahulu menyanyikan sepenggal lirik lagu. Kemudian para ultras mengikuti. Atau, cara lainnya. Dengan saling berbalasan.

Biasanya, para ultras akan membagi diri menjadi dua bagian dan saling bersaut-sautan dalam bernyanyi. Dalam dunia musik, hal itu dikenal sebagai cresendo.

Satu hal lagi yang penting untuk dicontoh adalah soal koordinasi. Pada kultur ultras ada paham hierarki berjalan. Seluruh anggota dilarang membantah perintah dari pemimpin.

Jika sudah seperti itu, tidak akan ada lagi anggota yang bertindak sesuka hati. Yang pada akhirnya merugikan diri sendiri atau tim.

Memang benar, ultras juga punya beberapa budaya yang tidak layak dicontoh. Misalnya open fight atau pertarungan dengan suporter lain.

Ultras
realclobber.com

Open fight biasanya dilakukan antar dua kelompok suporter dengan jumlah yang seimbang. Tanpa menggunakan senjata apa pun.

Perkelahian itu lebih olahraga bela diri mixed martial art. Itu artinya, lawan dinyatakan kalah bila sudah terjatuh dan tak mampu meneruskan pertarungan. Jika lawan sudah kalah, mereka melepaskannya. Mencari lawan yang masih berdiri untuk dijatuhkan. Begitu seterusnya. Sampai lawan benar-benar kalah.

Tapi sekali lagi, yang itu jangan diadopsi. Meski open fight masih punya batasan: jangan sampai menghilangkan nyawa!

Mereka seolah juga punya semboyan tidak ada kemenangan yang sepadan dengan nyawa. Sepak bola bukan ajang menghilangkan nyawa! (*Johan/kuh/bolaskor)

#Haringga Sirila
Bagikan
Ditulis Oleh

Thomas Kukuh

Bagikan