Kelompok Kartel Migas Diduga Aktor di Balik Penolakan Ahok Jadi Bos Pertamina
MerahPutih.com - Pencalonan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengisi posisi penting di Pertamina ditolak Serikat Pekerja dan beberapa tokoh, seperti mantan Menko Maritim Rizal Ramli.
Alasan penolakan karena Ahok tak memiliki kecakapan dalam mengolah korporasi dan tak memiliki pengalaman mengolah perusahaan minyak dan gas.
Baca Juga
Erick Thohir Dikritik karena Serahkan Pengelolaan BUMN ke Ahok
Pengamat energi Ferdy Hasiman beranggapan alasan ini tak logis. Penolakan justru karena ada kartel-mafia migas dibaliknya.
"Para mafia tak ingin ada utusan Presiden dan Menteri BUMN yang ingin membereskan Pertamina. Mafia pasti berkumpul membentuk kekuatan besar, membentuk opini agar mempengaruhi proses pengambilan keputusan," kata Ferdy dalam di Jakarta, Jumat (22/11).
Ferdy menduga, para pencari jabatan bisa memotong Ahok melalui kelompok kritis, seperti Rizal Ramli.
"Selama ini, Direktur Utama Pertamina selalu diisi oleh orang-orang yang memiliki pengalaman di bidang korporasi dan migas, tetapi selalu gagal membawa Pertamina terbang tinggi untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan global, seperti Petronas atau PTT Thailand," sesalnya
Ferdy mengatakan, Pertamina haruslah disokong kuat Presiden dan menteri. Bos Pertamina haruslah orang yang ditakuti para mafia.
"Dirut Pertamina bukan orang biasa-biasa saja, tetapi orang ditakuti para mafia," imbuh Peneliti Alpha Research Database, Indonesia ini.
Baca Juga
DPD Gerindra DKI Tanggapi Rumor Ahok Kandidat Kuat Dirut Pertamina
Ia mencontohkan, bisnis minyak bersama Pertamina adalah bisnis kelas premium, bisnis elit yang sekian lama sudah membentuk kartel mulai dari internal Pertamina, BUMN, ESDM sampai Partai Politik.
Ferdy berujar, mafia tak ingin Pertamina membangun kilang agar Pertamina terus mengimpor dan neraca keuangan negara kemudian defisit
"Mereka-meraka inilah menjadi petron dari mafia migas yang berbisnis dengan PETRAL yang bertugas membeli minyak dari pusat perdagangan Singapura," imbuh dia.
Selain itu, mereka menikmati untung dari penurunan produksi minyak nasional. Sejak tahun 2010-2019 misalnya, produksi minyak terus menurun di bawah 800.000 Barrel Oil Per Day (BOPD).
Sementara konsumsi BBM (bensin, solar) domestic mencapai 1.5 juta BOPD. Itu artinya, harus mengimpor 700.000-800.000 BOPD.
"Dana untung dari impor migas itu kemudian dibagi-bagi ke rantai jaringan mafia, sehingga banyak sekali elit bisnis dan politik yang mendapat berkah," ungkap dia.
Baca Juga
Ahok Disebut Layak Jadi Bos BUMN, Politikus Berkarya: Suruh Belajar Hukum
Selama Jokowi menjabat Presiden, mafia migas tak berani masuk istana. Bahkan, Petral sudah dibubarkan tahun 2015 oleh Team Reformasi Tata Kelola Migas.
"Nah Jokowi sudah tegas mengatakan, serius memberantas mafia migas. Jokowi butuh orang yang memiliki nyali tinggi serta loyal pada ambisinya memberantas mafia migas agar kedaulatan energi terwujud. Ahok tentu memiliki sejumlah kriteria penting menjadi bos Pertamina," sebut Ferdy. (Knu)