MerahPutih.com - Penegakan hukum kasus Jiwasraya dan Asabri dinilai belum sesuai dengan semangat penegakan hukum terkait dengan KUHP, KUHAP maupun UU Tipikor. Apalagi menyangkut penentuan kerugian negara.
"Ini harus diperjelas, karena bagi saya masih sangat meragukan. Apa betul itu apa yang dilakukan menimbulkan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi negara,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Unair Lucianus Budi Kagramanto dalam keteranganya, Senin (12/7).
Ia menilai, jika benar terjadi gagal bayar oleh asuransi, maka kasus Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya masuk dalam ranah perdata, bukan masuk ke dalam ranah pidana.
Baca Juga:
17 Kapal Sitaan TPPU Kasus PT Asabri Dilelang, Ini Kisaran Harganya
"Karena ini terkait dengan apa namanya pasar modal. Kemudian penetapan nilai kerugian dalam kasus tersebut serta penurunan nilai saham yang dimiliki oleh Asuransi Jiwasraya dan Asabri ini sebetulnya kan masuk dalam kajian hukum perdata," ujarnya. lagi.
Ia mempertanyakan dasar hukum yang dipakai Kejaksaan Agung dalam melakukan penyitaan, pemblokiran, perampasan aset yang tak terkait perkara korupsi.
"Itu sebetulnya untuk apa, untuk kepentingan siapa, ini gak jelas. Apakah prosedur-prosedur seperti ini apakah dapat dibenarkan oleh undang-undang? Kejaksaan jangan jadi instrumen negara untuk pemidanaan yang dipaksakan,” katanya.
Pakar hukum ekonomi bisnis juga melihat, dampak penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terkesan kurang hati-hati. Termasuk tidak memahami dasar investasi saham yang high risk high return.
Akibat penanganan perkara Asabri-Jiwasraya yang dilakukan secara tidak hati-hati itu pada akhirnya mengakibatkan investor asing maupun dari dalam negeri menjadi ragu untuk berinvestasi ke Indonesia.
"Tentu ini mengganggu stabilitas ekonomi dalam jangka panjang karena tidak ada jaminan kepastian hukum bagi investor. Sebab kasus ini merupakan business judgement lawfull, yaitu business judgment rule,” katanya.

Kuasa hukum PT TRAM dan PT JBU, Haris Azhar menyebut penanganan kasus Jiwasraya-Asabri adalah kejahatan menggunakan proses penegakan hukum.
"Kalau saya bilang ini kejahatan dengan menggunakan fasilitas proses hukum atau instrumen negara," kata Haris.
Menurutnya, penggunaan kekuasaan atas nama proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung, menciptakan banyak kerugian.
"Kalau dalam militer itu ada namanya perintah komandonya yang memang menikmati, menikmati semua proses kejahatan berkedok proses penegakan hukum ini. Jelas kriminalisasi. Jadi sebetulnya gagal bayarnya gara-gara Kejaksaan Agung," katanya.
Ia pun menilai, ada unsur politis dalam proses penegakan hukum kasus Jiwasraya-Asabri. Indikasinya, proses hukum, memang mengarah pada permainan aset dengan ngototnya kejaksaan melakukan lelang aset sitaan perkara Asabri menggunakan pasal 45 KUHP itu.
"Itu sangat semena-mena. Dan proses yang sedang dilakukan korps Adhyaksa, kata dia, adalah proses merusak bisnis orang dengan merebut asetnya. Jadi menurut saya Kejaksaan menghianati kepercayaan rakyat makanya sangat wajar kalau hari ini banyak orang teriak minta Jaksa Agung diganti dan minta Presiden suruh berhenti aja, ya karena udah nggak ada yang bisa dipercaya di Negeri ini,” tuturnya.
Kuasa hukum Heru Hidayat, Kresna Hutahuruk mengklaim saat mengumumkan gagal bayar total aset investasi yang masih dimiliki oleh Jiwasraya sekitar Rp 32 triliun daban tunggakan sebesar Rp 802 miliar.
"Namun direksi baru ketika itu tidak melakukan penyelamatan pembayaran, malah mengumumkan gagal bayar, yang mengakibatkan nilai saham-saham yang dimiliki AJS turun,” kata Kresna dalam webinar di Jakarta, Sabtu 10 Juli 2021.
Ia menegaskan, Kejaksaan dinilainya hanya mendata aset orang kemudian dikatakan memperkaya diri sendiri, seakan-akan orang tidak boleh punya uang dari hasil keringat mereka sendiri.
"Bahkan faktanya dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum tidak bisa membuktikan adanya aliran dana atau duit Heru Hidayat ke para tersangka lainnya," ujarnya. (*)
Baca Juga:
Lelang Aset Kapal Kasus Asabri, Kejagung Dinilai Tidak Cukup Berpegang Pada KUHAP