Kesehatan

Kecanduan Adrenalin, Normalkah?

Ananda Dimas PrasetyaAnanda Dimas Prasetya - Senin, 04 November 2019
Kecanduan Adrenalin, Normalkah?
Candu adrenalin bisa membahayakan diri (Foto: dr prem jagyasi)

AKTIVITAS intens dan mendebarkan dilakukan untuk memenuhi kepuasan batin. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menantang adrenalin. Keberhasilan menuntaskan tantangan seringkali mendorong keinginan untuk melakukan tantangan yang lebih ekstrem dari sebelumnya. Hal ini membentuk diri menjadi pecandu adrenalin. Para petualang atau pencari sensasi yang memenuhi kepuasan diri melalui aktivitas menantang.

Berbagai aktivitas ekstrem meliputi terjun payung, arum jeram, balapan, panjat tebing, sepeda gunung, base jumping, selancar, atau kegiatan berbahaya lainnya. Candu ini dipengaruhi kondisi emosional, di mana rasa takut bercampur dengan penasaran, kegembiraan, kemarahan atau rasa semangat sehingga menghasilkan hormon adrenalin atau epinefrin.

Baca juga:

Tiga Petualangan Rafting Terbaik di Indonesia, Berani Pacu Adrenalin?

Dilansir dari healthline, ketika hormon adrenalin terangsang, mulai dari detak jantung, tekanan darah hingga laju pernapasan meningkat secara drastis. Reaksi inilah yang mempertajam indera dan mendorong energi lebih keras. Adrenalin muncul saat tubuh merasa dalam situasi bahaya, diibaratkan dengan berkelahi atau lari.

Kecanduan Adrenalin, Normalkah?
Arum jeram salah satu kegiatan menantang adrenalin tetapi membahayakan diri (Foto: pexels/must bee)

Orang-orang yang tertarik dalam dunia menantang seperti ini termasuk ke dalam kategori tipe T, Thrill (sensasi, kepribadian). Selain itu, tingkat fleksibilitas dan keterbukaan diri terbentuk secara spontan dan impulsif. Didukung dengan rasa ingin tahu dan kreativitas juga menjadi ciri pribadi yang kecanduan adrenalin.

Psikolog Marvin Zuckerman menjelaskan definisi adrenaline junkie dalam bukunya berjudul "Sensation Seeking and Risky Behavior" pada laman psychology today, perilaku pecandu adrenalin cenderung mencari pengalaman baru dan intens tanpa mempedulikan risiko, baik secara fisik, sosial, hukum, ataupun finansial. Pada dasarnya, pecandu adrenalin merupakan perilaku umum. Sayangnya, perilaku ini bisa dikarenakan faktor keturunan.

Baca juga:

Mau Uji Adrenalin? Ambil Jurusan Parapsikologi

Pemicu candu adrenalin lainnya disebabkan post-traumatic stress disorder (PTSD). Terjadi permasalahan dalam berkonsentrasi, timbul kegelisahan, kewaspadaan yang konstan, perasaan mudah marah, atau trauma masa lalu (sebagai contohnya, korban kekerasan seksual). Bisa juga dikarenakan tumor pada kelenjar adrenal (pheochromocytoma) atau bagian sistem saraf otak (paraganglioma) seperti yang diungkapkan laman medical news today.

Kecanduan Adrenalin, Normalkah?
Utamakan keselamatan diri sebelum melakukan kegiatan ekstrem yang menantang adrenalin (Foto: pexels/david bortnik)

Meski begitu, tahukah kamu mengapa candu adrenalin dikatakan berbahaya? Hal ini dikarenakan reaksi tubuh saat melepaskan hormon adrenalin mengancam kesehatan tubuh. Produksi adrenalin memicu produksi oksigen secara ekstra untuk mengatur pernapasan.

Tak hanya itu, terjadi penurunan kemampuan dalam merasakan sakit, menumpulkan fokus mental, melemahkan daya pikir, jantung memompa lebih keras hingga aliran darah terhambat. Akibatnya, timbul sakit kepala hingga depresi.

Untuk mengurangi dorongan beraktivitas menantang yang membahayakan ini, mulailah dengan mengendalikan dan menyeimbangkan pasokan oksigen ke tubuh. Atur napas secara perlahan. Imbangi dengan olahraga ringan, seperti meditasi sebagai alternatif relaksasi pikiran. (Dys)

Baca juga:

5 Pulau yang Menjanjikan Petualangan Paling Memacu Adrenalin di Dunia

#Info Kesehatan #Adrenalin
Bagikan
Ditulis Oleh

Ananda Dimas Prasetya

nowhereman.. cause every second is a lesson for you to learn to be free.
Bagikan