MerahPutih.com - Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan rincian Pertalite dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter, Solar subsidi dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter, dan Pertamax dari Rp 12.500 menjadi Rp 14.500 per liter.
Ketua DPP Bidang Ekonomi dan Keuangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati memberi catatan atas keputusan pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi.
Baca Juga:
Harga BBM Naik, Wagub DKI Sebut Bakal ada Kenaikan Harga di Sejumlah Sektor
"Momennya sangat tidak pas, ketika perkonomian sedang bergerak pada pemulihan, bukan distimulus tapi malah dihambat, kebijakan yang kontraproduktif" ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (5/9).
Pada saat yang sama, kata anggota Komisi XI DPR RI ini, kondisi geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina, membuat perekonomian global semakin tidak pasti karena ancaman inflasi tinggi.
"Padahal masyarakat butuh waktu untuk kembali menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti saat ini," ujarnya.
Menurut Anis, kenaikan harga BBM bukan sekadar menaikkan biaya transportasi kendaraan pribadi, tapi juga berdampak ke semua sektor ekonomi. Terutama sektor yang berhubungan dengan masyarakat secara umum.
Anis mengingatkan, kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi semakin mendekatkan perekonomian nasional pada kondisi triple horror yang sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, akan terjadi efek berantai dalam perekonomian.
Baca Juga:
66 Pelaku Penimbunan BBM Bersubsidi Disikat Polisi, Negara Nyaris Rugi Rp 11 Miliar
"Tekanan inflasi tinggi, naiknya harga BBM akan mempengaruhi harga bahan baku di tingkat produsen meningkat, sehingga harga jual ke konsumen akan ikut naik, diperkirakan angka inflasi akan mencapai 7,0-8,0 persen hingga akhir tahun 2022," jelas dia.
Lebih lanjut politikus PKS ini menerangkan bahwa suku bunga tinggi, pasca kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan inflasi umum diperkirakan menembus di level 7,0 – 8,0 persen hingga akhir tahun.
"Kondisi ini memicu kenaikan suku bunga secara agresif, kondisi ini akan membuat biaya ekspansi rumah tangga dan dunia usaha menjadi lebih mahal," imbuhnya.
Menurut Anis, tingginya inflasi dan tingkat suku bunga, akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Aktivitas ekonomi yang sudah mulai bergulir semenjak awal tahun 2022, dipastikan akan melambat, seiring dengan tingginya biaya ekspansi usaha dan beban hidup masyarakat.
"Dampaknya adalah pertumbuhan ekonomi tahun 2022 akan kembali melambat dan menambah angka kemiskinan dan pengangguran," tuturnya.
Menurut Anis, kebijakan pemerintah mengeluarkan bansos senilai Rp 24,17 triliun, dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU) dan mengalokasikan 2 persen dana transfer umum pemerintah daerah untuk sektor transportasi umum, ojek, dan nelayan, tidak terlalu banyak membantu.
"Alokasi besaran Bansos tidak sebanding dengan tekanan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat akibat dampak COVID-19 dan angka inflasi yang sudah tinggi sebelumnya. Besar kemungkinan pada akhir tahun 2022, angka kemiskinan dan pengangguran akan kembali meningkat," pungkasnya. (Pon)
Baca Juga:
Tarif Bus AKAP di Kampung Rambutan Naik Seiring Penaikan Harga BBM