Keberagaman Mempererat Masyarakat Papua

Andika PratamaAndika Pratama - Kamis, 29 Juli 2021
Keberagaman Mempererat Masyarakat Papua
Sejumlah peserta Program Perekrutan Bersama (PPB) BUMN Papua dan Papua Barat mengikuti proses inaugurasi di Jakarta, Sabtu (22/2/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

MerahPutih.com - Tidak benar jika Papua hanya dipenuhi dengan konflik, kekerasan, dan keterbelakangan. Padahal, Papua adalah tempat yang sangat damai dan harmonis. Pernyataan ini disampaikan tokoh agama Papua, Prof.Dr.H.Idrus Al Hamid.

Menurutnya, Jikalau saja mengenal orang Papua dengan lebih dekat, maka akan didapatkan kehangatan sebuah persaudaraan yang tanpa pamrih dan apa adanya. Mereka memperlakukan orang lain sebagai keluarga sehingga menjaga harkat, martabat dan kehormatan diri sendiri sama dengan yang dilakukannya untuk orang lain.

Baca Juga

PBNU Kecam Tindakan Kasar Oknum Aparat terhadap Warga Disabilitas di Papua

Selain itu, kata dia, perjumpaan agama-agama di Papua selama ini telah melahirkan harmoni dan kebersamaan serta toleransi yang cukup baik.

Dengan memahami adanya masyarakat Papua yang memiliki topografi yang berbeda-beda, yaitu masyarakat pesisir, rawa, leren gunung dan pegunungan, penulis buku jalan panjang Perdamaian Papua ini optimis dengan kearifan lokal masing-masing, dan masyarakat Papua mampu membangun kehidupan yang penuh toleran.

“Keberadaan agama justru menjadi bagian yang tidak menjadi pembeda. Bahkan dalam beberapa hal, kegiatan keagamaan dijadikan sebagai kegiatan bersama walaupun berbeda-beda agama," kata Idrus dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (29/7).

tokoh agama Papua, Prof.Dr.H.Idrus Al Hamid.
Tokoh agama Papua, Prof.Dr.H.Idrus Al Hamid. Foto: Istimewa

Meskipun terkadang terjadi gesekan antara masyarakat adat dan metropolis, antara pribumi dengan perantau, dan politisasi identitas, namun ia telah merintis pencanangan zona integritas kerukunan umat beragama, membangun inter-religius diaof dan melakukan penguatan toleransi berbasis kearifan lokal.

“yang terpenting jangan menyakiti jika tidak ingin disakiti. Pahamilah bahwa manusia adalah sumber peradaban.” pesannya

Sementara itu, Dr Muhammad Sofin menyatakan bahwa masyarakat Papua sejak dahulu kala telah terbuka secara intelektual dan perilaku dalam menerima orang yang datang ke tanahnya, seperti halnya perbedaan agama dan suku tidak menghalangi mereka untuk menebar perdamaian dengan wajah ceria dan mengulurkan tangan. Kerjasama untuk hidup berdampingan secara damai.

"“Masyarakat Papua tidak menyembunyikan fakta bahwa toleransi dan kerja sama antarumat beragama itu nyata," tegasnya.

Ia mencontohkan, seorang Kristen membantu saudara Muslimnya ketika mempersiapkan ritual Idul Fitri, dan sebaliknya ketika datangnya Hari Kristus, dan begitu juga semua pemeluk agama, mengkoordinir perlakuan yang baik dari hati yang murni.

"Semua ini merupakan dasar dan kunci untuk menciptakan perdamaian dan keserasian lingkungan guna mencapai keberhasilan pembangunan negara dan pembangunan sumber daya manusia di Papua,” tegas asisten professor di UIN Maulana Hasanuddin Banten ini.

Sedangkan, salah satu tokoh agama di Papua, Safar Furuada, di Pesisir Papua telah mengalami proses kepemimpinan dari suku, kerajaan dan akhirnya masuk dalam kepemimpinan resmi NKRI, sehingga tiga masa kepemimpinan itu sudah terbentuk lebih moderat kepada hal-hal yang datangnya dari luar.

“Nilai budaya tradisi telah tertanam turun temurun, sehingga ada suatu anggapan atau semboyan yang menyatakan bahwa sebenarnya saudara kami dari Nusantara yang datang ke Papua, mereka pada hakekatnya bukanlah pendatang, melainkan anak-anak negeri yang ada di sini dulunya, mereka keluar dan saat ini kembali," ujarnya.

Ia juga menceritakan bahwa secara umum hubungan toleransi di Papua sudah cukup baik. Kehidupan sosial antar suku, agama dan golongan sudah cukup baik. Jika membangun masjid selalu ada uluran tangan dari masyarakat yang beragama lain terutama kristiani, itu biasa.

"Ada ungkapan kalau belajar toleransi, belajarlah pada masyarakat Papua, karena telah mempraktekkan toleransi yang riil yang tidak dimuat dalam buku-buku," katanya.

Pengalaman yang sama juga diutarakan Prof Kholid Touzani asal Maroko. Menurutnya, ada kesamaan permasalahan yang tengah dihadapi Indonesia. Yakni, Papua yang ingin merdeka dan Sahara Barat yang mau memisahkan diri. dari Maroko.

Dalam upaya menarik hati rakyat Sahara Barat, Raja memerintahkan agar rakyat Sahara Barat diperlakukan dengan baik dengan toleransi yang tinggi. Mereka dibantu dan dihormati, sehingga suara-suara untuk memisahkan diri dari Maroko sangatlah sedikit.

Prof Kholid Touzani

Namun demikian, ada upaya-upaya dari pihak luar untuk memprovokasi rakyat Sahara Barat agar terus menuntut pemisahan diri. Hal ini juga terjadi di Papua, dimana ada unsur-unsur luar yang ingin terus mendorong agar rakyat papua juga terus menuntut pemisahan diri.

“Di Maroko juga ada penduduk asli tetapi mereka diperlakukan dengan toleransi yang baik, diperlakukan sama dengan kebudayaan yang terpelihara, sehingga tercipta kedamaian. Selanjutnya tidak ada pertentangan masalah agama karena memang toleransi di Maroko sangat kuat," tuturnya.

"Antara Indonesia dan Maroko ada kesamaan masalah, sehingga harus ada hubungan yang kuat antar sesama. Saling membantu sesama muslim dan tetap menjaga toleransi yang menjadi dasar dalam hubungan sosial yang majemuk," pungkasnya. (Asp)

Baca Juga

Fadli Zon Minta Oknum TNI AU Penganiaya Warga Papua Dipecat

#Papua
Bagikan
Ditulis Oleh

Asropih

Bagikan